Ekonom Ungkap 3 Permasalahan Politisasi Bansos yang Perlu Ditelusuri Mahkamah Konstitusi

(ki-ka) Menko PMK Muhadjir Effendy, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Menteri Sosial Tri Rismaharini hadir dalam sidang perselisihan hasil Pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat 5 April 2024. Agenda hari ini ialah mendengarkan kesaksian empat menteri kabinet Jokowi-Ma'ruf Amin. TEMPO/Subekti.

TEMPO.COJakarta – Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono menilai ada tiga indikasi politisasi bantuan sosial atau bansos yang belum tuntas saat empat menteri dipanggil dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Jumat lalu. Dia berpendapat bahwa majelis hakim perlu mencari kebenaran substantif untuk membuktikan adanya kecurangan dalam Pemilu 2024.

“Ketersediaan data yang berlimpah atas indikasi politisasi bansos dalam pilpres 2024 mengizinkan hakim MK untuk melakukan pendalaman substantif ini,” kata Yusuf dalam pesan tertulisnya kepada Tempo, Minggu, 7 April 2024.

Permasalahan pertama, Yusuf menyampaikan, ialah konflik antara stabilitas makroekonomi dan kegentingan untuk bansos. Menurut dia, tidak ada kegentingan ekonomi untuk menambah berbagai bansos ad-hoc di sepanjang 2023 hingga menjelang pilpres di Februari 2024, mulai dari bansos beras, BLT El Nino, hingga BLT Mitigasi Risiko Pangan.

Ekonom itu menyebut bahwa pertumbuhan ekonomi tahun 2023 berada di kisaran angka 5,05 persen dengan inflasi hanya 2,31 persen dan terendah dalam 23 tahun terakhir. Sedangkan pada tahun 2024, sambung Yusuf, pertumbuhan ekonomi diproyeksikan 5,2 persen dengan inflasi 2-3 persen.

Yusuf juga menyampaikan bahwa anggaran belanja bansos pada tahun 2023 diproyeksikan Rp 146,5 triliun dan pada 2024 Rp 152,3 triliun. Angka itu jauh meningkat dibandingkan anggaran sebelum pandemi yang hanya Rp 112,5 triliun pada 2019.

“Anggaran belanja bansos yang sangat besar yang terus dipertahankan  meski pandemi telah berakhir adalah memiliki motif non ekonomi, yaitu motif elektoral,” ujarnya.

Lebih lanjut, Yusuf mengungkap permasalahan kedua, yaitu korelasi antara suara Prabowo-Gibran dan sebaran penerima bansos. Menurut dia, dari 22 juta keluarga penerima manfaat (KPM) bansos, sekitar 60 persen atau 13 juta KPM, bertempat tinggal di Jawa yang merupakan provinsi utama perebutan suara pilpres.

“Dari 204,8 juta DPT (Daftar Pemilih Tetap) di Pilpres 2024, sekitar 56 persen ada di Jawa. Pasangan Prabowo-Gibran mendapatkan 53,6 juta suara di Jawa, sekitar 33% dari total suara sah.”

Yusuf menyampaikan pasangan Prabowo-Gibran meraih kemenangan signifikan di lima wilayah Pulau Jawa, yaitu 65,2 persen di Jawa Timur, 58,5 persen di Jawa Barat, 53,1 persen di Jawa Tengah, 58,3 persen di Sumatera Utara, dan 56 persen di Banten. Padahal dalam pileg, kelima provinsi ini didominasi oleh partai pendukungan pasangan 01 dan 03.

Terakhir, Yusuf menyinggung soal seremonial pendistribusian bansos yang dilakukan oleh pejabat dari kalangan partai politik yang terafiliasi dengan pasangan 02, mulai dari Mendag Zulkifli Hasan, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto hingga Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Menurut dia, pendistribusian bansos pada dasarnya merupakan kewenangan Kemensos Tri Rismaharini.

“Tidak ada alasan  penyaluran bansos harus didahului dengan seremonial, terlebih lagi seremonial penyerahan bansos langsung dilakukan oleh Presiden dan Menteri dari parpol pendukung pasangan 02,” ucapnya.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy mengatakan, alokasi anggaran program perlindungan sosial (Perlinsos) yang disetujui DPR RI sebesar Rp 496,8 triliun. Program perlinsos yang dijalankan Kemenko PMK, di antaranya subsidi, bansos, dan jaminan sosial.

Selain itu, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati juga menyebut, tidak ada perbedaan pola realisasi anggaran perlinsos dalam enam tahun terakhir, yaitu 2019-2024, kecuali pada 2023. Bansos Kementerian Sosial (Kemensos) yang cukup rendah pada dua bulan pertama diakibatkan oleh penataan kembali kerja sama Kemensos dan perbankan.

Di sisi lain, Menteri Sosial Tri Rismaharini mengungkapkan bahwa Kemensos memperoleh anggaran sebesar Rp 79,214 triliun pada 2024. Dari angka tersebut, sebesar 95,46 persen atau Rp 7,61 triliun untuk alokasi bansos.

“Kalau kita bandingkan anggaran 2023 dan 2024, anggaran Kemensos turun dari Rp 87.275.474.140.000 menjadi Rp 79.214.083.464.000,” kata Risma di ruang sidang utama MK, Jakarta Pusat, Jumat, 5 April 2024.

Sumber :https://bisnis.tempo.co/read/1854920/ekonom-ungkap-3-permasalahan-politisasi-bansos-yang-perlu-ditelusuri-mahkamah-konstitusi?page_num=2