Pengamat Minta Pemerintah Berikan Perhatian Serius soal Pertumbuhan Negatif Sektor Pertanian

Ilustrasi sawah. (Dok. Antara)

JAKARTA, investor.id – Direktur IDEAS (Institute For Demographic and Poverty Studies) Yusuf Wibisono meminta pemerintah memberikan perhatian serius terkait pertumbuhan sektor pertanian yang mengalami kontraksi 3,54% dan menjadi satu-satunya sektor yang mengalami pertumbuhan negatif pada kuartal I 2024.

“Benar bahwa sektor pertanian terdampak oleh el-nino, namun kejatuhan sektor pertanian yang sangat dalam ini, negatif 3,54%, menurut saya harus mendapatkan perhatian serius,” kata Yusuf kepada Investor Daily di Jakarta, Selasa (7/5/2024).

Dalam 2 tahun terakhir pascapandemi, lanjut dia, sektor pertanian selalu tumbuh positif dan pada 2023 meski diterpa el-nino sejak pertengahan tahun tetap mampu tumbuh positif.

Pada 2022,  sektor pertanian tumbuh yoy 1,16% (kuartal I), 1,68% (kuartal II), 1,95% (kuartal III) dan 4,51% (kuartal IV). Sedangkan pada 2023, sektor pertanian tumbuh 0,43% (kuartal I), 2,02% (kuartal II), 1,49% (kuartal III) dan 1,12% (kuartal IV).

Kejatuhan sektor pertanian yang sangat dalam pada kuartal I 2024 menjadi peringatan keras untuk ketahanan pangan nasional. Ketahanan pangan adalah prioritas nasional terpenting bagi semua negara. Terlebih bagi negara dengan penduduk besar seperti Indonesia.

“Impor pangan kita yang sangat signifikan jelas menandakan bahwa ketahanan pangan kita lemah. Impor beras tahun 2023 meonjak, menembus 3 juta ton yang melampaui impor beras 2,25 juta ton tahun 2018 dan menjadi ironis karena baru di tahun 2022 lalu kita menerima penghargaan internasional karena dipandang mampu swasembada beras periode 2019-2021,” tegasnya.

“Indonesia hingga kini belum mampu swasembada beras dan di masa el-nino, kegagalan ini harus dibayar mahal dengan lemahnya ketahanan pangan kita, selama tidak mampu swasembada beras, kita akan terus terekspos dengan resiko impor beras,” lanjutnya.

Sebagai salah satu negara importir pangan terbesar di dunia,lanjut dia, Indonesia tak terhindarkan akan selalu terekspose dengan resiko politik proteksionisme pangan global. Banyak pihak telah lama mengingatkan bahwa bergantung pada pasar pangan global memunculkan kerentanan tinggi pada ketahanan pangan. Kerentanan terbesar datang dari  ketidakpastian pasokan dan harga pangan internasional.

Pengamat Minta Pemerintah Berikan Perhatian Serius soal Pertumbuhan Negatif Sektor Pertanian
Yusuf Wibisono, Direktur IDEAS (Institute for Demographic and Poverty Studies).

“Kita sudah pernah mengalaminya pada saat krisis harga pangan global 2008, saat itu terutama harga beras di pasar internasional melonjak tinggi, akibat gagal panen, spekulasi di pasar komoditas dan politik pangan negara eksportir beras,” jelasnya.

Pasar beras internasional volumenya kecil, hanya sekitar 5-7% dari produksi dunia, sehingga sedikit guncangan di permintaan atau penawaran, akan membuat harga melonjak. Terlebih pasar beras internasional ini didominasi hanya oleh segelintir negara eksportir seperti Thailand, India, Vietnam dan Pakistan.

Krisis Pangan

Dia memaparkan, krisis pangan 2008 harusnya menjadi pelajaran, namun hingga kini kondisi tersebut tidak banyak berubah. Ketergantungan terhadap impor pangan masih sangat tinggi.

Impor beras sebesar 3,06 juta ton pada tahun 2023 yang lalu, menjadi yang tertinggi dalam 25 tahun terakhir pasca impor 4,75 juta ton beras pada 1999.

Kerentanan impor pangan menjadi lebih buruk karena ketergantungan yang tinggi pada beberapa negara sumber impor saja. Pada 2023, Indonesia mengimpor 3,06 juta ton beras, dimana 93% impor hanya berasal dari hanya 3 negara saja yaitu Thailand (45,1%), Vietnam (37,5%), dan Pakistan (10,1%).

Menurut Yusuf, kerentanan pangan tidak hanya dari beras, namun juga gandum. Untuk gandum, sambung dia, ketergantungan pada impor mengkhawatirkan karena Indonesia tidak memproduksi gandum sama sekali sehingga 100% iimpor. Indonesia sejak 2019 tercatat sebagai importir gandum terbesar di dunia.

“Jadi ancaman pada ketahanan pangan kita tidak hanya dari politik proteksionisme pangan sebagaimana yang dilakukan eksportir beras seperti India, namun juga dari eksportir gandum seperti Ukraina yang terlibat perang dengan Rusia sejak tahun 2022 lalu,” tuturnya.

Pada 2021, kata dia, Indonesia mengimpor 11,2 juta ton gandum, dimana 25,4% nya atau 2,8 juta ton berasal dari Ukraina.  Pada 2022, impor gandum turun menjadi 9,4 juta ton dimana hanya 1,8% nya atau 167 ribu ton saja yang berasal dari Ukraina.

Menghadapi krisis pangan, tidak ada cara lain kecuali meningkatkan produksi dalam negeri diikuti manajemen stok pangan yang lebih efisien. Produksi beras tahun 2022 adalah 31,5 juta ton, dan pada 2023 turun menjadi 31,1 juta ton. Untuk swasembada pangan, produksi beras seharusnya minimal 35 juta ton per tahun.

Menurut dia, ancaman terbesar adalah rendahnya tingkat kesejahteraan petani. Kebijakan pemerintah justru seringkali tidak berpihak seperti membuka impor pangan di tengah panen raya, dan terkini perubahan iklim semakin membuat petani terpuruk.

“Dibutuhkan keberpihakan kebijakan yang kuat, mulai dari kebijakan tata niaga yang kondusif bagi sektor pertanian, dukungan investasi pada infrastruktur pertanian, peternakan dan perikanan, serta reforma agraria dan aset. Termasuk kebijakan yang dibutuhkan adalah diversifikasi pangan dan menumbuhkan budaya pangan lokal yang kini semakin tergerus oleh trend pangan asing,” jelasnya.

Alih Fungsi Lahan

Isu paling krusial dalam antisipasi kekurangan pasokan beras saat ini menurut Yusuf adalah alih fungsi lahan sawah yang terus terjadi secara masif.

“Kita telah memiliki UU No. 41/2009 tentang Perlindungan LP2B (Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan), namun hingga kini alih fungsi lahan sawah masih cenderung tidak terkendali, bahkan banyak disebabkan oleh proyek strategis nasional (PSN) seperti pembangunan jalan tol Trans Jawa,” ujarnya.

Luas lahan baku sawah pada 2019 adalah 7,46 juta hektar. Namun Yusuf menduga kuat angka ini sudah tidak valid saat ini. Ini menjelaskan mengapa produksi beras cenderung terus melemah dalam 5 tahun terakhir, dari 33,9 juta ton pada 2018 menjadi 31,1 juta ton pada 2023.

Di 8 provinsi sentra beras yaitu Sumbar, Banten, Jabar, Jateng, DIY, Jatim, Bali dan NTB, luas lahan baku sawah (LBS) 2019 adalah 3,97 juta hektar. Namun pada 2021, hanya 3,84 juta hektar sawah saja di 8 provinsi tersebut yang dapat ditetapkan menjadi lahan sawah yang dilindungi (LSD).

Dengan kata lain, 136 ribu hektar sawah di 8 provinsi sentra beras tersebut diduga kuat telah mengalami konversi di sepanjang 2019-2021.

Menurut Yusuf melindungi lahan sawah yang tersisa, terutama di Jawa, adalah kebijakan yang tidak bisa ditawar untuk ketahanan pangan di masa depan.

Kebijakan membuka lahan sawah baru di luar Jawa, termasuk food estate, adalah kebijakan yang mahal dan beresiko sangat tinggi untuk ketahanan pangan .

“Mempertahankan sawah dan mendorong usaha pertanian berbasis keluarga (family farming) di Jawa adalah krusial untuk memastikan ketahanan pangan kita di masa depan, bukan dengan food estate yang mahal dan beresiko tinggi gagal,” katanya.

Sumber :https://investor.id/business/pengamat-minta-pemerintah-berikan-perhatian-serius-soal-pertumbuhan-negatif-sektor-pertanian