tirto.id, Jakarta – Nama-nama kandidat di bursa menteri keuangan yang akan menggantikan Sri Mulyani Indrawati di pemerintahan Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka pada Oktober 2024 mendatang mulai bermunculan. Sederet nama dari kalangan profesional pun ikut meramaikan posisi Bendahara Negara tersebut.
Mereka adalah Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Mahendra Siregar; Dirut PT BNI, Royke Tumilaar; Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, dan Wakil Menteri BUMN, Kartika Wirjoatmodjo, sebagaimana dikutip dari Bloomberg.
Sementara itu, Direktur Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Yusuf Wibisono, menilai dari nama-nama yang muncul tersebut justru belum ada yang benar-benar ideal. Sebab, sejatinya sosok menteri keuangan selama ini yakni Sri Mulyani Indrawati, terkenal sebagai figur dengan integritas dan kredibilitas yang baik sehingga mendapatkan kepercayaan tinggi dari pelaku pasar dan juga komunitas internasional.
Maka, sosok bendahara negara yang non partisan dan lebih banyak dituntun oleh pertimbangan profesional dan argumentasi rasional dalam pembuatan kebijakan, tetap menjadi kunci dari kepercayaan banyak pihak terhadap menteri keuangan. Faktor ini kemudian tetap akan menjadi syarat utama bagi menteri berikutnya.
“Namun terlepas dari apresiasi banyak pihak atas kepemimpinannya di Kemenkeu selama ini, menurut saya Sri Mulyani memiliki sejumlah kelemahan mendasar, yang karenanya menjadi catatan penting bagi figur menkeu berikutnya,” ujar dia kepada Tirto, Rabu (8/5/2024).
PR Besar Menkeu Selanjutnya
Yusuf mengatakan, kegagalan menteri keuangan sekarang adalah meningkatkan penerimaan perpajakan. Terlepas dari berbagai kebijakan reformasi perpajakan yang dikeluarkan selama era pemerintahan Presiden Jokowi, termasuk pengampunan pajak atau tax amnesty dan UU HPP, serta terkini pengembangan core tax system, kinerja penerimaan perpajakan kita tidak banyak berubah.
Tax ratio terkini pada 2023 hanya sebesar 10,23 persen dari PDB, yang bahkan masih lebih rendah dari tax ratio di awal Presiden Jokowi pada 2015 yang 10,76 persen dari PDB. Kinerja penerimaan perpajakan RI bahkan stagnan dalam 1 dekade terakhir, jika tidak bisa dikatakan menurun.
Kedua adalah kegagalan menahan beban utang pemerintah yang semakin membebani APBN secara signifikan, sehingga menurunkan kemampuan APBN dalam memberi stimulus perekonomian dan melindungi rakyat miskin. Beban bunga utang terus meningkat dalam 1 dekade terakhir, terutama pasca pandemi yang melejit sangat tinggi.
Bila pada 2015 beban bunga utang “baru” di kisaran Rp150 triliun, maka kini telah mendekati Rp500 triliun pada APBN 2024. Beban bunga utang melonjak dari 17,9 persen dari penerimaan perpajakan pada 2019 menjadi 24,4 persen dari penerimaan pajak pada 2020.
Pada 2023 diperkirakan rasio bunga utang terhadap penerimaan pajak masih akan berada di kisaran 20,6 persen dan pada 2024 diproyeksikan di kisaran 21,5 persen. Posisi ini tentu saja jauh di atas batas aman di kisaran 7 – 10 persen.
“Maka syarat sosok menkeu berikutnya yang terpenting menurut saya adalah memiliki program dan kapasitas untuk meningkatkan kinerja penerimaan perpajakan dan sekaligus menurunkan beban utang pemerintah,” ujar dia.
Menteri keuangan berikutnya, lanjut Yusuf, tidak boleh lagi melanggar disiplin makroekonomi atas nama apapun. Sebab, di masa pandemi, untuk pertama kalinya pasca krisis 1997, pemerintah melanggar dua disiplin makroekonomi terpenting, yaitu melanggar disiplin fiskal berupa batas maksimum defisit anggaran 3 persen dari PDB dan bank sentral melakukan monetisasi utang pemerintah dimana BI membeli SBN di pasar primer.
“Menkeu berikutnya harus mampu menurunkan ketergantungan APBN yang sangat akut pada pembuatan utang baru, terutama melalui penerbitan SBN,” ujar dia.
Dia mencontohkan, di era Presiden SBY, penerbitan SBN dari hanya Rp32,3 triliun pada 2004 melonjak hingga mencapai Rp439 triliun pada 2014. Di era Presiden Jokowi, penerbitan SBN melambung tinggi, dari Rp522 triliun pada 2015 menjadi Rp922 triliun pada 2019.
Di masa pandemi, penerbitan SBN juga melonjak tinggi menembus Rp1.541 triliun pada 2020 dan Rp1.353 triliun pada 2021. Pasca pandemi, penerbitan SBN mulai menurun meski masih sangat tinggi, tercatat Rp1.097 triliun pada 2022.
Pada 2015, jumlah SBN yang jatuh tempo dan beban bunga SBN “baru” di kisaran Rp300 triliun. Kemudian pada 2019, angka ini melonjak menembus Rp700 triliun dan pasca pandemi, pada 2021, menembus Rp800 triliun.
Pada 2022, jumlah SBN jatuh tempo dan beban bunga SBN diperkirakan turun menjadi Rp500 triliun. Namun pada 2023 diproyeksikan melonjak mendekati Rp1.000 triliun dan pada 2024 di kisaran Rp1.100 triliun.
“Bila di era Presiden SBY, beban bunga utang dan cicilan pokok utang yang jatuh tempo rata-rata di kisaran 32,9 persen dari penerimaan perpajakan pada 2005-2014, maka pada 2015-2022, di era Presiden Jokowi, angka ini melonjak menjadi 47,4 persen,” pungkas dia.
Maka, tidak mudah bukan dalam memilih menteri keuangan? Prabowo dalam hal ini harus mempertimbangkan berbagai hal dan menempatkan orang pas untuk menjadi bendahara negara.
Sumber :https://tirto.id/kriteria-menkeu-kabinet-prabowo-gibran-jangan-sampai-ambil-dari-parpol-gYvH