TEMPO.CO, Jakarta – Ekonom Yusuf Wibisono mengungkapkan sejumlah kriteria yang mesti dimiliki oleh sosok Menteri Keuangan atau Menkeu berikutnya pada pemerintahan Prabowo-Gibran.
Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) itu menyebutkan kriteria terpenting seorang Menkeu adalah mempunyai program dan kapasitas untuk meningkatkan kinerja penerimaan perpajakan, sekaligus menurunkan beban utang pemerintah.
Dia menegaskan Menkeu berikutnya tidak boleh lagi melanggar disiplin makroekonomi atas nama apa pun. Di masa pandemi, kata Yusuf untuk pertama kalinya pasca krisis 1997, pemerintah melanggar dua disiplin makroekonomi terpenting.
“Yaitu melanggar disiplin fiskal berupa batas maksimum defisit anggaran 3 persen dari PDB (produk domestik bruto) dan bank sentral melakukan monetisasi utang pemerintah, di mana BI (Bank Indonesia) membeli SBN (Surat Berharga Negara) di pasar primer,” kata Yusuf, dikutip pada Kamis, 6 Juni 2024.
Yusuf menyebut Menkeu berikutnya harus mampu menurunkan ketergantungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang sangat akut pada pembuatan utang baru, terutama melalui penerbitan SBN. Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY, penerbitan SBN dari yang hanya Rp 32,3 triliun pada 2004 kemudian melonjak mencapai Rp 439 triliun pada 2014. Sementara di era Presiden Joko Widodo, penerbitan SBN melambung tinggi, dari Rp 522 triliun pada 2015 menjadi Rp 922 triliun pada 2019.
“Di masa pandemi, penerbitan SBN melonjak menembus Rp 1.541 triliun pada 2020 dan Rp 1.353 triliun pada 2021. Pasca pandemi, penerbitan SBN mulai menurun meski masih sangat tinggi, tercatat Rp 1.097 triliun pada 2022.”
Kriteria berikutnya adalah kemampuan meningkatkan penerimaan perpajakan tanpa bergantung pada harga komoditas global. Menurut dia, penyehatan APBN pasca pandemi banyak terbantu oleh kenaikan harga komoditas global, terutama batu bara dan minyak kelapa sawit. Dengan demikian, tax ratio atau rasio pajak RI membaik dengan cepat, yaitu dari 8,3 persen dari PDB pada 2020 menjadi 10,4 persen dari PDB pada 2022.
“Namun ketika commodity boom berakhir pada 2023, tax ratio kita langsung melemah. Pada 2023, tax ratio kita turun menjadi 10,2 persen dari PDB meski pemulihan ekonomi berjalan semakin cepat,” tuturnya.
Ia menekankan hanya dengan kenaikan kinerja penerimaan perpajakan yang signifikan, RI akan mampu membuat redistribusi pendapatan dari kelas atas ke kelas bawah-menengah berjalan lebih cepat dan progesif. “Hanya dengan tax ratio yang lebih tinggi, kita akan mampu menurunkan rasio utang pemerintah pada akhir 2023 yang mencapai 38,59 persen dengan nilai absolut utang pemerintah menembus Rp 8.145 triliun.”
Tak hanya itu, Menkeu berikutnya kata dia juga harus mampu menurunkan beban utang pemerintah. Pasalnya, beban utang pemerintah saat ini telah berada pada tingkat yang sangat memberatkan.
Pada 2015, jumlah SBN yang jatuh tempo dan beban bunga SBN baru di kisaran Rp 300 triliun. Pada 2019, angkanya menembus Rp 700 triliun. Pasca pandemi pada 2021, nominalnya mencapai Rp 800 triliun.
Kemudian pada 2022, jumlah SBN jatuh tempo dan beban bunga SBN diperkirakan turun menjadi Rp 500 triliun. Namun, pada 2023 diproyeksikan melonjak mendekati Rp 1.000 triliun dan pada 2024 di kisaran Rp 1.100 triliun.
“Di era Presiden SBY, beban bunga utang dan cicilan pokok utang yang jatuh tempo rata-rata di kisaran 32,9 persen dari penerimaan perpajakan pada 2005-2014. Pada 2015-2022 di era Presiden Jokowi, angka ini melonjak menjadi 47,4 persen,” ujar Yusuf.
Sumber :https://bisnis.tempo.co/read/1876601/ekonom-beberkan-kriteria-ideal-menkeu-di-pemerintahan-prabowo-gibran-apa-saja