MEDIAINDONESIA, JAKARTA – MASIH tinggi angka kemiskinan di sejumlah daerah menandakan kegagalan pemerintah menciptakan pertumbuhan ekonomi berkualitas. Pasalnya, perekonomian yang tumbuh di kisaran 5% satu dekade terakhir tak serta merta membawa kesejahteraan bagi masyarakat.
Pertumbuhan yang tak inklusif itu secara nyata terlihat di wilayah yang menjadi destinasi investasi penghiliran produk sumber daya alam (SDA). Di wilayah-wilayah tersebut, pertumbuhan ekonomi yang tinggi karena penanaman modal tak diikuti dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar.
“Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi era Presiden Jokowi cenderung tidak inklusif,” ujar Direktur Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono kepada Media Indonesia melalui keterangannya yang dikutip pada Rabu (12/6).
Morowali, misalnya, mengalami penurunan kemiskinan yang lamban dan menyebabkan masih banyak penduduk miskin di wilayah tersebut. Pada 2015, angka kemiskinan Morowali mencapai 15,8% dan pada 2023 masih di kisaran 12,3%, jauh di atas rerata nasional yang hanya di kisaran 9,4%.
Padahal Morowali merupakan contoh terdepan adopsi hilirisasi berbasis ekstraktivisme. Terjangan hilirisasi menerpa Morowali sejak 2015 ketika pangsa sektor industri pengolahan terhadap PDRB melonjak dari hanya 12% pada 2014 menjadi 30% pada 2015.
Pada 2022, wajah daerah kaya nikel itu berubah drastis dengan kontribusi industri pengolahan dalam perekonomian menembus 73%. Seiring derasnya hilirisasi, pertumbuhan ekonomi Morowali melesat, menembus 38% per tahun sepanjang 2015-2022.
“Peran PDRB Morowali dalam PDB nasional melonjak dari hanya 0,07% pada 2014 menjadi 0,75% pada 2022. Namun kualitas pertumbuhan ekonomi Morowali tampak luar biasa itu terlihat rendah,” kata Yusuf.
Pengalaman serupa terjadi di Konawe dan Halmahera Tengah. Angka kemiskinan di Konawe tidak banyak berubah, dari 13,5% pada 2018 menjadi 13,0% pada 2023. Padahal rerata pertumbuhan ekonomi Konawe sepanjang 2018-2022 mencapai 9,4% per tahun. Itu banyak didorong oleh hilirisasi nikel yang telah menggedor pangsa sektor industri pengolahan Konawe dari hanya 6% pada 2017 menjadi 39% pada 2022.
Di Halmahera Tengah, angka kemiskinan tercatat masih tinggi lantaran penurunan yang lamban, yakni dari 14,1% pada 2019 menjadi 11,4% pada 2023. Padahal pangsa sektor industri pengolahan Halmahera Tengah melonjak drastis dari hanya 6% pada 2019 menjadi 60% pada 2022.
Adapun rerata pertumbuhan ekonomi Halmahera Tengah sepanjang 2020-2022 mencapai 98,7%. Peran PDRB Halmahera Tengah dalam PDB nasional pun melonjak dari 0,01% pada 2018 menjadi 0,11% pada 2022.
Pengalaman lebih buruk terjadi di Halmahera Selatan. Angka kemiskinan Halmahera Selatan meningkat dari 4,1% pada 2017 menjadi 5,7% pada 2023. Padahal hilirisasi nikel sejak 2017 mengubah wajah Halmahera Selatan yang pangsa sektor industri pengolahan melonjak drastis dari hanya 9% pada 2016 menjadi 48% pada 2022.
Rerata pertumbuhan ekonomi sepanjang 2017-2022 menembus 16% per tahun. “Pengalaman Halmahera Selatan semakin ironis karena sebelum era hilirisasi nikel, pertumbuhan ekonomi justru jauh lebih inklusif. Angka kemiskinan Halmahera Selatan turun secara konsisten dari 14,1% pada 2005 menjadi hanya 4,1% pada 2016,” jelas Yusuf.
Pengalaman empat daerah sentra hilirisasi nikel tersebut, lanjutnya, secara jelas menunjukkan rendahnya dampak hilirisasi terhadap kesejahteraan masyarakat. Minimnya dampak kesejahteraan hilirisasi dapat ditelusuri dari dinamika pertumbuhan ekonomi tinggi daerah kaya nikel tersebut yang nyaris sepenuhnya berasal dari investasi swasta asing dan aktivitas ekspor impor oleh industri hilirisasi nikel.
Investasi besar dalam bentuk impor kapital dan teknologi diikuti ekspor sepenuhnya hasil hilirisasi, membuat keterkaitan dan dampak hilirisasi terhadap perekonomian lokal menjadi sangat minim.
Yusuf mengatakan, daerah sentra hilirisasi nikel yang semula didominasi ekonomi rakyat berbasis pertanian tanaman pangan, holtikultura dan perikanan, kini secara drastis berubah menjadi dikuasai kapital raksasa global yang mengeksploitasi dan mengolah nikel untuk kemudian mengekspor hasilnya.
“Dengan keterlepasan hilirisasi dari sumber penghidupan utama masyarakat, tidak heran bila kemudian pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi akibat hilirisasi nikel, tidak memberi manfaat bagi masyarakat lokal. Lompatan struktural daerah kaya nikel gagal menciptakan pembangunan inklusif dan menjadi lebih terlihat sebagai penghisapan sumber daya lokal untuk kepentingan kapitalis global,” kata Yusuf. (Z-2)
Sumber :https://mediaindonesia.com/ekonomi/677912/pertumbuhan-ekonomi-era-jokowi-cenderung-tidak-inklusif