Legasi Jokowi, Utang Jumbo Prabowo

KORANTEMPO, JAKARTA – PERGERAKAN presiden terpilih Prabowo Subianto terancam terbatas akibat tumpukan utang. Total utang yang jatuh tempo pada 2025-2029 atau selama masa pemerintahan Prabowo tercatat tembus Rp 3.748,24 triliun.

Pada tahun pertama, ada utang senilai Rp 800,33 triliun yang menjadi beban Prabowo. Sebanyak Rp 705 triliun berasal dari surat berharga negara atau SBN. Sekitar 92,7 persen dari obligasi negara tersebut terbit setelah 2014 alias semasa pemerintahan Joko Widodo atau Jokowi. Selain SBN, ada pula pinjaman pemerintah senilai Rp 95 triliun yang akan jatuh tempo pada 2025.

Tantangannya bukan cuma pada tahun pertama. Sejak 2025 hingga akhir masa pemerintahan Prabowo pada 2029, nilai SBN yang jatuh tempo mencapai Rp 3.086 triliun. Managing Director Political Economy and Policy Studies Anthony Budiawan mengatakan pemerintah butuh menerbitkan obligasi baru atau pembiayaan kembali (refinancing) untuk membayar utang tersebut.

Masalahnya, dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal 2025, pemerintah menetapkan defisit anggaran berkisar 2,45 persen hingga 2,82 persen. Anthony memperkirakan angkanya bakal tambah besar tiap tahun. “Defisit APBN ini juga harus dibiayai dari utang dengan penerbitan SBN,” katanya kepada Tempo, kemarin.

SBN banyak menjadi andalan pemerintah untuk mencari dana. Seperti terlihat dari komposisi utang per April 2024, komposisi SBN mencapai 87,94 persen dari total utang sebesar Rp 8.338,43 triliun. Sebanyak 12,06 persen sisanya berasal dari pinjaman dalam dan luar negeri.

Ketika pemerintah butuh menerbitkan SBN dalam jumlah besar, Anthony khawatir pasar keuangan Indonesia yang kecil tidak mampu menyerap. “Jumlah tabungan masyarakat di perbankan Indonesia sangat rendah, hanya sekitar Rp 8.500 triliun,” katanya. ⁠Ketika pasar tidak bisa menyerap penerbitan SBN dalam jumlah yang sangat besar tersebut, dampaknya adalah krisis fiskal dan moneter.

Pemerintah bisa memberdayakan perbankan Indonesia hingga Bank Indonesia untuk menyerap SBN. Namun ada konsekuensi yang membayangi. Kredit perbankan kepada masyarakat akan beralih ke SBN. Akibatnya, penyaluran kredit ke masyarakat terhambat, sehingga menekan investasi dan menghambat pertumbuhan ekonomi. Menurut Anthony, pembiayaan APBN lebih lanjut melalui Bank Indonesia, alias monetary financing, akan mengakibatkan rupiah terdepresiasi lebih dalam.

Pelemahan rupiah bakal mengganggu aktivitas ekonomi riil dan akhirnya mengganggu pertumbuhan ekonomi. Kesejahteraan masyarakat sebagai dampaknya bakal menurun.

Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies Yusuf Wibisono mencatat pembuatan utang baru oleh pemerintah terus meningkat drastis, terutama melalui penerbitan SBN. Saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjabat, penerbitan obligasi naik dari Rp 32,3 triliun pada 2004 menjadi Rp 439 triliun pada 2014. Di era Jokowi, penerbitan surat utang melambung, dari Rp 522 triliun pada 2015 menjadi Rp 922 triliun pada 2019. Saat masa pandemi, jumlahnya menembus Rp 1.541 triliun.

Utang baru yang makin besar berkorelasi kuat dengan besaran beban bunga utang dan cicilan pokok utang. Pada 2015, jumlah SBN yang jatuh tempo dan beban bunga SBN di kisaran Rp 300 triliun. Jumlahnya naik pada 2019 hingga menembus Rp 700 triliun. Yusuf memperkirakan angkanya menembus Rp 1.100 triliun tahun ini. “Dengan kata lain, kita dapat disebut sudah masuk dalam jebakan utang, yaitu berutang untuk bayar utang,” katanya. Tantangannya makin berat di tengah tren kenaikan suku bunga saat ini. Semakin tinggi bunga utang, semakin berat pula beban yang ditanggung.

Menurut Yusuf, masalah utang ini bakal makin serius pada masa pemerintahan Prabowo. Dia menghitung sepanjang 2025-2028 utang pemerintah yang jatuh tempo bakal menyentuh Rp 3.100 triliun atau sekitar Rp 800 triliun per tahun. Dengan beban bunga utang menyentuh kisaran Rp 500-600 triliun per tahun, beban bunga utang dan cicilan pokoknya berpotensi menyentuh Rp 1.300-1.400 triliun per tahun. Angkanya setara dengan setengah penerimaan perpajakan 2023 yang mencapai Rp 2.154 triliun.

“Dengan setengah dari penerimaan perpajakan akan dihabiskan hanya untuk membayar beban cicilan pokok utang dan bunga utang, maka ruang fiskal yang tersisa untuk presiden Prabowo menjadi semakin terbatas,” kata Yusuf.

Akar masalah dari kondisi sekarang adalah strategi pengelolaan utang yang terfokus pada refinancing. Yusuf menyebutnya sebagai langkah gali lubang tutup lubang. Padahal, untuk mengurangi beban utang, butuh reformasi anggaran seperti meningkatkan rasio pajak atau menurunkan beban pengeluaran.

Untuk mencegah lonjakan utang pemerintah, Yusuf berharap ada penerapan disiplin fiskal secara ketat. “Tidak boleh ada lagi pelanggaran atas defisit anggaran di atas 3 persen dari PDB dan tidak boleh ada lagi monetisasi utang pemerintah oleh bank sentral, untuk alasan apa pun,” katanya.

Sumber :https://koran.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/488880/warisan-utang-jokowi-untuk-prabowo