REPUBLIKA, JAKARTA — Pengamat Ekonomi Yusuf Wibisono berpendapat, Presiden terpilih Prabowo Subianto mesti memikirkan dan mempertimbangkan sejumlah persoalan terkait pengelolaan anggaran negara. Menurut Yusuf, kondisi fiskal Indonesia saat ini perlu menjadi peringatan.
Peringatan terjadi seiring dengan stagnasi rasio pajak sekaligus beban belanja negara yang sulit ditekan. Ia pun menyoroti mengenai ‘normalisasi’ utang pemerintah yang kian membengkak hingga saat ini.
“Pembenaran pemerintah untuk berutang umumnya adalah spekulatif, yaitu bahwa utang akan digunakan untuk kegiatan produktif yang diproyeksikan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari bunga utang,” kata Yusuf kepada Republika, Rabu (3/7/2024).
Berdasarkan analisisnya, Yusuf mengatakan, di era Presiden Prabowo, bila pada 2024 utang pemerintah yang jatuh tempo di kisaran Rp400 triliun, maka sepanjang 2025—2028 utang pemerintah yang jatuh tempo totalnya Rp3.100 triliun atau sekitar Rp800 triliun per tahun.
Dengan beban bunga utang penerimaan kini ada di kisaran Rp500—600 triliun per tahun, maka beban bunga utang dan cicilan pokok utang pemerintah di era Presiden Prabowo berpotensi menembus Rp1.300-1.400 triliun setiap tahunnya.
“APBN era Presiden Prabowo akan menanggung beban berat karena harus mengakomodasi warisan proyek Presiden Jokowi seperti IKN dan PSN yang belum selesai, maupun untuk mengakomodasi janji kampanye Presiden Prabowo sendiri seperti makan siang-minum susu gratis,” terangnya.
Menurutnya, Presiden terpilih Prabowo akan menghadapi situasi yang semakin sulit karena janji politik yang harus dipenuhinya tidak hanya makan bergizi gratis. Tetapi juga kenaikan gaji ASN, membuka sekolah unggulan termasuk menambah fakultas kedokteran hingga 300, meningkatkan produktivitas pertanian, melanjutkan dan mengembangkan hilirisasi tambang, hingga membentuk badan penerimaan negara untuk meningkatkan kinerja penerimaan perpajakan.
“Skenario ideal adalah jika APBN memiliki tambahan ruang fiskal yang signifikan untuk membiayai janji politik Presiden Prabowo, melanjutkan proyek warisan Presiden Jokowi dan sekaligus memenuhi pembayaran beban utang pemerintah. Dibutuhkan setidaknya tax ratio di kisaran 12 persen dari PDB. Namun skenario ini sangat sulit, untuk APBN 2025 pemerintah dan DPR hanya berani menetapkan target tax ratio 2025 di kisaran 10,0-10,2 persen dari PDB saja,” jelas Yusuf
Tanpa adanya kenaikan rasio pajak yang signifikan, serta tetap memaksakan melanjutkan proyek warisan Presiden Jokowi dan sekaligus memenuhi janji politik, akan ada risiko yang ditanggung. Setidaknya ada dua hal menurut Yusuf akibat persoalan itu.
“Itu akan berimplikasi dua hal; kenaikan utang pemerintah dan defisit anggaran atau pemotongan anggaran belanja tidak terikat seperti belanja infrastruktur atau belanja bantuan sosial,” ujar dia.
Yusuf melanjutkan, ketika pasar melihat sikap Presiden Prabowo yang cenderung permisif dengan utang, bahkan sempat beredar kabar liar berniat akan menaikkan rasio utang pemerintah yang kini di kisaran 38 persen dari PDB menjadi kisaran 50 persen dari PDB, hal ini segera dipandang sebagai sinyal meningkatnya risiko fiskal. Dalam beberapa pekan terakhir ini terlihat instabilitas nilai tukar rupiah yang salah satunya dipicu oleh persepsi kenaikan resiko fiskal ini.
“Maka skenario yang lebih rasional dan menjamin kehati-hatian dalam pengelolaan fiskal adalah Presiden Prabowo harus mengevaluasi kembali proyek-proyek mercusuar warisan Presiden Jokowi yang tidak memiliki urgensi seperti IKN,” ungkapnya,
Bahkan juga akan lebih solutif jika Presiden terpilih Prabowo bersedia mempertimbangkan ulang program makan bergizi gratis agar tidak membebani APBN secara masif. Jika benar program makan bergizi gratis ‘hanya’ menelan anggaran Rp71 triliun pada 2025, ini tetap berat untuk ditanggung oleh APBN 2025.
Menurut Yusuf, sebaiknya anggaran sebesar Rp71 triliun itu difokuskan untuk memperkuat program yang memiliki dampak lebih besar, seperti program penanggulangan stunting yang selama ini anggaran nya hanya di kisaran Rp35 triliun. Atau anggaran Rp71 triliun ini akan menjadi sangat berarti jika dialihkan untuk anggaran ketahanan pangan yang selama ini anggaran nya hanya di kisaran Rp100 triliun.
“Kita juga berharap Presiden terpilih tidak secara gegabah menambah utang dan menjaga disiplin fiskal secara ketat. Konsolidasi fiskal pascapandemi harus dipastikan berlanjut. Defisit anggaran yang dipatok hingga 2,8 persen dari PDB tidak mencerminkan kehati-hatian fiskal. Selayaknya defisit fiskal dijaga dibawah 2 persen dari PDB,” ujarnya.
Sumber :https://news.republika.co.id/berita/sge7xw409/prabowogibran-akan-langsung-diadang-utang-jatuh-tempo-rp800-triliun-defisit-apbn-melebar-part2