Nuri Ikawati, MA
Peneliti Madya IDEAS
Alumnus Program Master in Risk, Health and Public Policy
Durham University, United Kingdom
Semenjak ditutupnya pusat riset kanker PT Edwar Technology yang memproduksi alat pembunuh sel kanker bernama ECCT (Electro-Capacitative Cancer Treatment) oleh Kementerian Kesehatan pada 22 November 2015, muncul petisi online yang dimotori oleh Indira Abidin, ketua yayasan Lavender. Petisi yang dimulai pada tanggal 1 Januari 2016 itu meminta agar pemerintah tetap mengijinkan pasien kanker menggunakan alat temuan Dr. Warsito Purwo Taruno untuk pengobatan mereka. Para pengguna ECCT yang tergabung dalam komunitas Lavender tersebut mengaku sembuh atau membaik setelah terapi menggunakan inovasi baru ini. Sejak petisi tersebut bergulir, komunitas yang menyebut dirinya sebagai penerima anugerah kanker alih – alih penderita kanker ini aktif menyuarakan aspirasinya baik melalui kampanye lewat media sosial maupun lobi terhadap pembuat kebijakan (Jawapos, 18 Januari 2016).
Namun, berbagai kampanye yang berisi pengalaman dan testimoni dari pengguna ECCT dianggap tidak ilmiah. Reaksi terutama muncul dari kalangan medis dengan alasan pernyataan pasien tidak bisa dimasukkan dalam kategori evidence based medicine (EBM) yang merupakan standar uji klinis di dunia Kedokteran (Kompas, 16 Januari 2016)
Gerakan pasien atau dalam beberapa literatur disebut dengan organisasi pasien bukanlah fenomena baru di Barat khususnya Eropa dan Amerika. Setidaknya setelah perang dunia kedua, di Inggris mulai bermunculan gerakan komunitas yang mengusung isu kesehatan untuk kepentingan pasien dan keluarga pasien. Sedang di Amerika sendiri sejak tahun 1960an organisasi pasien ini berhasil memasukkan agendanya dalam proses kebijakan publik bahkan mampu membawa perubahan sistemik dalam arena kontestasi kepentingan tersebut. Tidak heran jika kemudian pada bulan Februari 2006 di Vienna diadakan konferensi khusus yang membahas fenomena kemunculan gerakan baru ini oleh Uni Eropa.
.
Organisasi Pasien sebagai Kepakaran Baru
Meskipun istilah baku untuk menyebut organisasi pasien masih dalam perdebatan, organisasi ini tetap memiliki karakteristik yang sama. Adanya mobilisasi kelompok terpinggirkan, identitas politik, kepentingan untuk menyuarakan nilai-nilai bersama, menjadi penyeimbang kekuatan sosial yang ada saat ini, yakni kelompok ahli atau expert knowledge adalah ciri organisasi pasien. (Baggot, 2008; Jezewski et al, 2006).
Dalam organisasi pasien, penggunaan terminologi sebagai deklarasi identitas menjadi vital. Sebagai entitas yang disatukan oleh kesamaan pengalaman tentang rasa sakit atau kehilangan, pengalaman keseharian dalam perjuangan menghadapi penyakit dikonstruksi sebagai pengetahuan. Perjuangan bersama kanker (a cancer journey), hidup bersama penyakit (living with) adalah diskursus yang diciptakan dalam komunitas pasien ini dan memilih tidak menggunakan kata penderitaan (suffering from). Hal ini seperti yang disampaikan oleh Bourdieu (1991) dalam Allopso et al (2006) bahwa komunitas dibangun oleh bahasa dan persepsi
Pengetahuan yang telah dikodifikasi tersebut dikembangan dengan penggalian informasi lain termasuk penggalian pendapat ahli. Untuk meluaskan lingkup pengaruh dan sebagai upaya advokasi, penyebaran pengetahuan dilakukan melalui berbagai kanal informasi. Berdasarkan proses pembangunan pengetahuan yang dimulai dari pengalaman personal itulah pemahaman awam (lay knowledge) menjadi kepakaran baru.
Diskursus baru ini kemudian berkontestasi dengan otoritas ahli konvensional (expert knowledge) sebagai sumberdaya dalam proses pembuatan kebijakan. Di negara maju seperti Inggris kepakaran awam yang dipelopori oleh organisasi pasien ini diakui. Melalui Expert Patients Programme pemerintah Inggris membuka ruang partisipasi kepada organisasi pasien untuk bergabung dalam komite yang membahas standar pelayanan klinis. Atmosfer politik yang sama untuk organisasi pasien yang diperhitungkan sebagai suatu mainstream baru dalam otoritas medis juga terjadi di Jerman.
Mazanderani, et al (2013) menyebut pengetahuan awam atau lay knowledge ini sebagai experiental – evidence, yakni bentuk lain dari bukti medis yang dibangun dari pengalaman personal dan pengetahuan medis. Alih – alih menyebutnya sebagai sesuatu yang tidak ilmiah karena tidak masuk kategori sebagai evidence based, Mazanderani, et al (2013) justru menyarankan para praktisi kesehatan untuk mengkolaborasikan experiental – evidence untuk mengeksplorasi kebutuhan terbaik pasien dalam sistem kesehatan.
Momentum Perubahan
Best, et al (2012) menyebutkan bahwa organisasi pasien mempunyai kekuatan penekan yang cukup strategis untuk dapat mempengaruhi kebijakan. Salah satu faktor determinannya adalah kemampuan organisasi pasien untuk mampu mengubah persepsi dari para pembuat kebijakan terhadap definisi masalah maupun target sasaran dari kebijakan tersebut. Inilah yang disebut dengan agenda setting untuk memasukkan isu komunitas menjadi salah satu rumusan atau masalah publik.
Tentu saja hal ini tidak bisa berjalan satu arah. Bukti dari negara Barat menunjukkan bahwa ruang partisipasi yang sesungguhnya hanya akan dapat dinikmati oleh organisasi pasien jika negara membuka institusinya dengan berbagai perangkat saluran aspirasi dan regulasi yang memadai. Inipun jika negara sadar bahwa sistem kesehatan masih bersifat paternalistik, ada kekuatan sosial yang dominan sehingga merepresi suara marginal seperti pasien. Tanpa kesadaran tersebut mustahil organisasi pasien mampu mewarnai proses politik.
Komunitas Lavender melalui situs resminya telah menegaskan tuntutan mereka dalam kasus review ECCT ini. Secara tegas mereka meminta pemerintah untuk melibatkan suara pasien dalam perumusan hasil review Kementerian Kesehatan agar aspirasi mereka untuk tetap dapat bertahan hidup dengan ECCT dapat terwujud.
Menurut UU No 36 tahun 2009 pasal 174 tentang Kesehatan, negara menjamin peran serta masyarakat dalam setiap pembangunan aspek kesehatan baik secara individu maupun kelompok. Maka kasus ini akan menjadi sebuah momentum bagi pemerintah untuk mewujudkannya. Ini adalah penanda apakah suara kelompok yang selama ini menjadi subordinat dalam relasi di dunia kesehatan telah diperhitungkan sebagai suatu kepakaran baru di Indonesia.