Angka Kemiskinan Turun, Indikator BPS hanya Pendapatan Rp595 Ribu/Bulan

Ilustrasi - Masyarakat hidup dalam kemiskinan. (Dok. Kemensos)

FAKTA.COM, Jakarta – Berdasarkan rilis Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru, angka kemiskinan Indonesia dicatatkan terendah sepanjang sejarah. Namun, capaian tersebut perlu lebih dikritisi secara holistik. Sebab, BPS memiliki metode perhitungan kemiskinan yang berbeda dengan standar internasional.

Per September 2024, BPS mencatat tingkat kemiskinan Indonesia di angka 8,57 persen. Plt Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan bahwa catatan ini merupakan yang terendah sejak angka kemiskinan pertama kali dirilis oleh BPS pada 1960.

“Jadi ini pertama kalinya kita menyentuh digit depannya di angka delapan,” kata Amalia dalam Konferensi Pers Badan Pusat Statistik, Rabu (15/1/2025).

Mengutip situs resmi BPS, Garis Kemiskinan nasional pada September 2024 tercatat sebesar Rp595.242 per kapita per bulan. Angka tersebut naik 2,11 persen dari Maret 2024 yang tercatat sebesar Rp582.932 per kapita per bulan.

Sementara dilihat secara kewilayahan, Garis Kemiskinan perkotaan mencapai Rp615.763 per kapita per bulan, lebih tinggi dari Garis Kemiskinan pedesaan yang tercatat sebesar Rp566.655 per kapita per bulan.

Angka tersebut relatif rendah jika dibandingkan dengan biaya hidup masyarakat Indonesia, terutama di kota besar, seperti Jakarta dan Surabaya. Hal inilah yang membuat capaian penurunan kemiskinan di Indonesia patut dikritisi.

Garis Kemiskinan nasional pada September 2024 tercatat sebesar Rp595.242 per kapita per bulan

– BPS

Mengelaborasi hal tersebut lebih lanjut, Ekonom Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat bilang, dengan angka garis kemiskinan itu, sebenarnya banyak masyarakat Indonesia yang tidak terhitung miskin, tetapi sangat rentan.

Terlebih, garis kemiskinan yang digunakan BPS jauh lebih rendah dengan standar World Bank. Dalam hal ini, World Bank mematok garis kemiskinan sebesar US$2,15 per hari dengan paritas daya beli 2017. Jika dirupiahkan, angka tersebut berada di kisaran Rp 1.000.000 per kapita per bulan.

“Jika garis ini diterapkan di Indonesia, jumlah penduduk miskin akan menjadi 40-75 juta orang lebih besar dari angka yang dilaporkan BPS,” ujar Achmad dalam keterangan rilis yang diterima Fakta.com, Kamis (16/1/2025).

Di samping itu, metode perhitungan kemiskinan BPS juga menggunakan pendapatan sebagai indikator tunggal. Jelas, metode ini abai dengan dimensi kemiskinan lain, seperti akses terhadap layanan dasar, kualitas pekerjaan, dan lingkungan tempat tinggal.

“Sementara itu, UNDP menggunakan Indeks Kemiskinan Multidimensional (MPI) yang mencakup berbagai aspek, seperti akses terhadap pendidikan, kesehatan, air bersih, listrik, dan perumahan layak,” beber Achmad.

Dengan metode MPI tersebut, data terakhir menunjukkan 15-20 persen masyarakat Indonesia terdeprivasi pada berbagai dimensi tersebut. Artinya, secara riil kemiskinan di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang dipaparkan oleh BPS.

Selain itu, ada potensi bias dari penurunan kemiskinan yang dicatat BPS. Sebab, tahun lalu merupakan tahun politik yang notabene deras sekali penyaluran bansos dan bantuan lain.

“Bisa jadi penurunan kemiskinan ini bersifat sementara dan tidak dapat dijadikan acuan untuk data kebijakan pemerintah di masa yang akan datang,” jelas Achmad.

Meski begitu, Achmad tidak memungkiri bahwa penurunan angka kemiskinan berdasarkan perhitungan BPS merupakan sesuatu yang patut diapresiasi. Bahkan, bisa dikatakan sebagai keberhasilan kebijakan ekonomi dan sosial.

Kendati demikian, agar perhitungan lebih komprehensif, Achmad menyarankan agar BPS mengubah metode perhitungan kemiskinan. Misalnya, dengan mempertimbangkan dimensi nonpendapatan serta meningkatkan validitas data di lapangan.

Hal serupa diungkapkan oleh Peneliti Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS), Muhammad Anwar. Anwar bilang, jika Indonesia menggunakan garis kemiskinan Purchasing Power Parity (PPP) untuk ukuran negara menengah ke atas, yakni sebesar US$6,85 per hari, maka angka kemiskinan di Indonesia akan jauh lebih tinggi.

Saran dari Anwar pun setali tiga uang dengan Achmad, menurutnya metode perhitungan kemiskinan oleh BPS perlu dievaluasi.

“Pemerintah perlu mempertimbangkan perbaikan dalam standar pengukuran kemiskinan agar kebijakan yang diterapkan dapat lebih realistis dan memberikan dampak yang lebih nyata dalam mengurangi kemiskinan, terutama untuk kelompok masyarakat yang terpinggirkan dan yang paling rentan,” ujar Anwar kepada Fakta.com, Kamis (16/1/2025).

Sumber: https://fakta.com/ekonomi/fkt-21232/angka-kemiskinan-turun-indikator-bps-hanya-pendapatan-rp595-ribubulan