Presiden Prabowo mencanangkan swasembada pangan dengan mencetak sawah baru di luar Jawa hingga 3 juta hektar dalam 4 tahun ke depan sebagai salah satu program utama pemerintahannya. Melalui cetak sawah skala besar di luar Jawa ini Indonesia ditargetkan akan swasembada beras pada 2027, menjadi eksportir beras pada 2028, dan menjadi lumbung pangan dunia pada 2029. Selain cetak sawah baru, pompanisasi sawah tadah hujan dan optimalisasi lahan rawa menjadi program andalan lain untuk target ambisius ketahanan pangan. Namun mega-proyek cetak sawah baru hingga 3 juta hektar di luar Jawa dari Presiden Prabowo ini menyimpan ironi besar: terus berlanjutnya alih fungsi lahan sawah secara masif terutama di Jawa.
Alih Fungsi Sawah
Produksi pangan dengan mencetak sawah baru dalam skala besar ala proyek lumbung pangan (food estate) adalah respon kebijakan atas semakin berkurangnya lahan sawah produktif terutama di Jawa. Sepanjang 2013-2019, luas lahan baku sawah (LBS) nasional secara resmi berkurang 287 ribu hektar, dari 7,75 juta hektar pada 2013 menjadi 7,46 juta hektar pada 2019. Lahan pertanian pangan sejak lama menghadapi tekanan alih fungsi lahan yang masif. Lahirnya UU No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) tidak mampu menurunkan tekanan alih fungsi lahan ini. Jawa yang merupakan lumbung pangan nasional dengan intensitas tenaga kerja yang tinggi, semakin terdesak lahan pertaniannya oleh industrialisasi dan urbanisasi.
Lemahnya dukungan pemerintah daerah untuk menetapkan LP2B dan mengintegrasikannya dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten/Kota (RDTRK) membuat alih fungsi lahan sawah terus terjadi dan cenderung semakin tidak terkendali. Respon pemerintah pusat adalah lamban dan inkonsisten.