Pengamat Nilai Deflasi pada Februari 2025 Pertanda Pelemahan Daya Beli

Ilustrasi ekonomi. (Foto: Pixabay)

INVESTOR.ID, JAKARTA – Fenomena deflasi yang terjadi pada Februari 2025 menjelang bulan Ramadan merupakan salah satu indikator terkait kondisi perekonomian Indonesia, khususnya terkait daya beli masyarakat yang melemah.

Deflasi tahunan sebesar 0,09% dan deflasi bulanan 0,48% menandakan adanya tekanan pada konsumsi domestik yang selama ini menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi nasional.

Dalam kondisi normal, menjelang bulan Ramadan, permintaan terhadap barang dan jasa seharusnya meningkat, terutama kebutuhan pokok seperti beras, daging ayam, dan sayuran.

Namun, kenyataan bahwa harga-harga justru turun menunjukkan adanya pelemahan daya beli, di mana masyarakat lebih menahan pengeluaran mereka dibandingkan periode sebelumnya.

“Jika inflasi rendah umumnya dianggap sebagai sesuatu yang positif karena menjaga stabilitas harga, maka deflasi yang berkepanjangan bisa menjadi masalah serius karena menunjukkan bahwa aktivitas ekonomi melemah,” kata Peneliti dari IDEAS, Muhammad Anwar kepada Investor Daily  di Jakarta, Senin (10/3/2025).

Deflasi tahunan terakhir yang terjadi pada tahun 2000 berkaitan dengan pemulihan pasca-krisis ekonomi 1997-1998, di mana masyarakat masih berjuang untuk memulihkan pendapatan mereka.

“Jika sekarang deflasi kembali terjadi setelah 25 tahun, maka ini bisa menjadi indikasi bahwa masyarakat mengalami tekanan ekonomi yang cukup besar, baik dari faktor internal maupun eksternal,” katanya.

Program Pemerintah untuk Menopang Daya Beli

Pemerintah memang telah menggulirkan berbagai program untuk menopang daya beli, mulai dari bantuan sosial (bansos), subsidi energi, hingga insentif bagi pelaku usaha.

Pengamat Nilai Deflasi pada Februari 2025 Pertanda Pelemahan Daya Beli
Peneliti dari IDEAS, Muhammad Anwar

Namun, efektivitas program-program tersebut dalam meningkatkan daya beli masyarakat sangat bergantung pada beberapa faktor utama, seperti ketepatan sasaran, besaran manfaat yang diberikan, serta apakah kebijakan lain yang berjalan bersamaan justru memperburuk kondisi ekonomi masyarakat.

Pertama, Bantuan sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) memang menjadi instrumen penting dalam menopang kelompok rentan, terutama dalam kondisi ekonomi yang sulit. Namun, efektivitasnya dalam menjaga daya beli masyarakat masih menghadapi berbagai tantangan.

“Salah satu permasalahan utama adalah nominal bantuan yang stagnan atau bahkan menurun jika dibandingkan dengan kenaikan harga kebutuhan pokok akibat inflasi dalam beberapa tahun terakhir,” ujar Anwar.

Selain itu, masalah ketidakmerataan distribusi juga menjadi hambatan serius dalam efektivitas program bansos. Masih banyak laporan mengenai penerima bansos yang tidak tepat sasaran, sementara mereka yang benar-benar membutuhkan justru sulit mengakses bantuan.

Kedua, salah satu faktor yang berkontribusi terhadap deflasi Februari 2025 adalah penurunan tarif listrik. Ini menandakan bahwa pemerintah masih menjalankan kebijakan subsidi energi, yang pada dasarnya bisa membantu menekan pengeluaran rumah tangga.

Namun, ada beberapa hal yang perlu dicermati, yaitu subsidi energi hanya berdampak terbatas pada daya beli secara keseluruhan. Turunnya tarif listrik memang mengurangi beban pengeluaran masyarakat, tetapi jika harga kebutuhan pokok lain tetap tinggi atau pendapatan riil masyarakat stagnan, maka konsumsi tetap akan melemah.

“Subsidi tidak menyentuh persoalan pendapatan. Mengurangi pengeluaran melalui subsidi energi memang membantu, tetapi jika masyarakat tidak mengalami peningkatan pendapatan, maka daya beli tidak akan benar-benar meningkat,” pungkasnya.

Sumber: https://investor.id/macroeconomy/pengamat-nilai-deflasi-pada-februari-2025-pertanda-pelemahan-daya-beli