tirto.id – “Harta 50 orang terkaya Indonesia setara dengan 50 juta warga biasa.” Begitu bunyi bab awal yang digunakan Center of Economic and Law Studies (Celios) dalam Laporan Ketimpangan Indonesia 2024.
Terbit pada September tahun lalu, riset ini menyodorkan realitas yang akrab, tapi hanya terasa mengusik ketika disampaikan dalam pidato politik: kekayaan terkonsentrasi pada segelintir elite, sementara sebagian besar masyarakat hidup dengan pendapatan yang jauh dari layak.
Beberapa hari lalu, Celios kembali menyoroti kelompok superkaya itu dalam riset terbaru. Bedanya, kali ini fokusnya pada usulan penerapan pajak kekayaan terhadap 50 orang terkaya sebagai alternatif sumber penerimaan negara—sekaligus sebagai kritik terhadap praktik pajak yang selama ini diibaratkan “berburu di kebun binatang”.
Potensinya pun tak main-main. Dengan asumsi kekayaan terendah di kelompok ini sebesar Rp15 triliun dan rata-rata mencapai Rp159 triliun, tarif pajak kekayaan 2 persen saja bisa menghasilkan Rp81,35 triliun per tahun.
Pajak kekayaan (wealth tax) adalah pajak progresif atas total kekayaan bersih individu, mencakup aset tanah, properti, saham, kendaraan, karya seni, dan simpanan rekening. Konsep ini dimaksudkan sebagai kontribusi dari mereka yang paling diuntungkan oleh sistem ekonomi kepada masyarakat luas, sekaligus untuk meredam ketimpangan ekstrem.
Celios mengaitkan gagasan ini dengan tesis ekonom seperti Thomas Piketty, Emmanuel Saez, dan Gabriel Zucman, yang sama-sama mendorong penerapan pajak kekayaan progresif.
Meski demikian, instrumen pajak ini belum hadir dalam bentuk yang komprehensif di Indonesia. Peneliti Celios Media Wahyudi Askar mengatakan, yang ada saat ini hanyalah pungutan parsial seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), pajak barang mewah (PPnBM), dan PPh final atas dividen—semuanya belum menyasar keseluruhan aset bersih individu.
Di samping itu, berbagai hambatan niscaya mencegat penerapannya: mulai dari kapasitas administrasi perpajakan,hingga regulasi yang dapat memperkuat audit dan sanksi tegas. Hal ini lah yang disoroti Pengamat Pajak dari Center of Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar. Menurutnya, niat baik saja tidak cukup untuk mempertebal penerimaan negara dengan pajak kekayaan.
Ia mencontohkan Pengalaman Perancis saat memperkenalkan Impôt de Solidarité sur la Fortune (ISF) pada 2012. Pajak solidaritas atas kekayaan tersebut justru menjadi penyebab terjadinya eksodus kelompok kaya, termasuk aktor Gérard Depardieu yang pindah ke Belgia demi menghindari pajak tersebut. Lembaga riset New World Wealth mencatat, pada 2016 saja, 12.000 jutawan meninggalkan Perancis karena pajak kekayaan.
“Bukannya mengatasi ketimpangan yang terjadi malah eksodus kelompok kaya dari Perancis. Cerita paling masyhur ketika Gérard Depardieu, aktor film Perancis kenamaan, memilih tinggal di Belgia untuk menghindari pajak kekayaan. Lembaga riset New World Wealth menyebutkan, untuk tahun 2016 saja, sebanyak 12.000 jutawan memilih pergi dari Perancis untuk menghindari pajak kekayaan,” ujarnya saat dihubungi Tirto.
Karena itu, Fajry menekankan pentingnya koordinasi internasional. Ia mengutip rekomendasi Gabriel Zucman untuk membuat Coordinated Minimum Effective Taxation Standard for Ultra-high-net-worth individuals, agar penghindaran pajak lintas negara bisa ditekan. Sayangnya, usulan itu gagal di forum G-20. Di tengah ketiadaan koordinasi global, risiko arus modal keluar dari Indonesia menjadi alasan politik yang kuat untuk menunda kebijakan ini.
Alih-alih pajak kekayaan murni, Fajry lebih menyarankan skema “minimum tax” bagi kelompok superkaya, seperti yang diusulkan Zucman maupun Kamala Harris di Amerika Serikat. Intinya, jika pajak penghasilan yang dibayar terlalu kecil dibanding total kekayaannya, orang tersebut akan dikenai pajak tambahan.
Namun, jika sudah membayar sesuai proporsi yang adil, tidak ada beban ekstra. “Secara politik itu akan lebih diterima,” kata Fajry.
“Seperti kita ketahui, perhitungan politik pasti akan menjadi pertimbangan utama. Belum lagi, tidak ada koordinasi antara negara, mengingat proposal Zucman dalam G-20 yang lalu tertolak,” jelasnya.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI), Prianto Budi Saptono, mengingatkan bahwa pajak untuk orang superkaya sebenarnya sudah ada dalam UU PPh. Revisi lewat UU HPP memperluas objek pajak hingga mencakup imbalan nontunai (in kind) dan menaikkan tarif hingga 35 persen untuk penghasilan di atas Rp5 miliar setahun. Penerimaan dari PPh Pasal 21—yang dipotong pemberi kerja setiap bulan—pun meningkat signifikan sejak 2024.
Meski begitu, Prianto melihat usulan pajak kekayaan yang menghitung nilai saham atau aset berdasarkan harga pasar tahunan berpotensi menabrak prinsip ability to pay. “Karena harga pasar itu berfluktuasi,” katanya saat dihubungi terpisah.
Selain itu, sebagian besar aset kaya raya sudah terkena pungutan, seperti PBB untuk tanah dan bangunan, Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) untuk mobil mewah, BPHTB untuk transaksi properti, atau BBN-KB untuk balik nama kendaraan. Menurutnya, pajak kekayaan seperti itu memang lazim di banyak negara, tetapi penerapannya harus mempertimbangkan beban ganda dan keadilan vertikal.
“Ketika basis kekayaannya adalah harga pasar saham, masalah utamanya ada di prinsip keadilan vertikal di atas,” jelasnya.
Sementara itu, Peneliti Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Muhammad Anwar, menilai pajak superkaya adalah langkah strategis untuk keadilan fiskal. Ia merujuk Wealth Report 2022 yang mencatat jumlah Ultra High Net Worth Individual (UHNWI) di Indonesia mencapai 1.403 orang, dan diprediksi 1.810 orang pada 2026.
Di sisi lain, beban pajak selama ini justru lebih berat ditanggung kelompok menengah-bawah melalui PPN, yang menyumbang sekitar 30 persen penerimaan pajak, sementara PPh hanya 5 persen.
Anwar juga menekankan aspek moral dalam penerapan pajak konglemerat ini: mereka yang mendapat keuntungan terbesar dari perekonomian memiliki tanggung jawab proporsional untuk mengembalikan manfaatnya ke masyarakat.
Data survei IPSOS Global 2024 dalam laporan Earth4All bahkan menunjukkan 86 persen responden di Indonesia mendukung pajak kekayaan—lebih tinggi dari rata-rata global 70 persen. Dukungan serupa juga muncul untuk pajak lebih tinggi bagi perusahaan besar, dengan tingkat persetujuan 82 persen.
Namun Anwar mengakui, penerapannya penuh tantangan politik dan administratif. Elite ekonomi punya kekuatan lobi besar, narasi “investor akan kabur” sering dipakai untuk menghalangi kebijakan ini.
Sistem data aset juga belum terintegrasi, banyak kekayaan disembunyikan lewat nama nominee, rekening luar negeri, atau bentuk sulit dilacak seperti karya seni dan emas. Penegakan hukum pajak pun lemah, dengan praktik penghindaran yang memanfaatkan celah legal. “Tanpa basis data solid, pajak superkaya rawan bocor,” ujarnya.
Kunci lain adalah kepercayaan publik. Jika masyarakat yakin uang pajak digunakan untuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur publik, dukungan akan menguat. Sebaliknya, jika dana itu dianggap hanya menambah celah korupsi atau pemborosan birokrasi, legitimasi kebijakan akan runtuh.
“Masyarakat akan mendukung jika yakin uang yang dipungut digunakan untuk kepentingan bersama, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur publik. Namun jika dana pajak dianggap hanya menambah celah korupsi atau pemborosan birokrasi, dukungan akan luntur,” jelas Anwar.
Sumber: https://tirto.id/betapa-susahnya-tarik-pajak-kekayaan-konglomerat-di-indonesia-hfRS#google_vignette