Nasib Guru Honorer: Beban Sama, tapi Gaji Beda

Nasib Guru Honorer: Beban Sama, tapi Gaji Beda

tirto.id – Tiba-tiba saja guru pendidikan agama itu berbicara tentang sejarah. Di ujung telepon, Reval, guru honorer asal Kabupaten Bogor, bercerita soal bagaimana negara Jepang menghargai profesi guru. Menurut Reval, guru di Jepang dihargai lebih tinggi dari profesi sipil lainnya. Ini yang disebutnya menjadi kunci kebangkitan Jepang setelah ditimpa bom atom pada perang dunia kedua.

“Setelah bom jatuh di Hiroshima dan Nagasaki tahun 1945 itu, Kaisar Hirohito mencari guru buat membangun kembali negara, itu pintu mereka [Jepang] maju sampai sekarang,” ucap Reval (29 tahun), ketika berbincang dengan Tirto, Selasa (26/8/2025) malam.

Keadaan di Indonesia, diakui Reval amat berbanding terbalik. Guru honorer yang mengajar di salah satu sekolah dasar di Kabupaten Bogor itu belum melihat upaya pemerintah untuk menghargai profesi guru. Guru honorer sepertinya, kata Reval, dianggap beban dan enggan diakui negara.

Tak perlu repot-repot mencari bukti. Dari aspek kesejahteraan saja Reval bisa menunjukkan bahwa profesi guru, terutama yang berstatus honorer, bak sengaja dimiskinkan. Ayah dari satu orang anak itu sudah menjadi guru selama lima tahun. Sebagai honorer, upahnya tidak pernah lebih dari angka Rp1 juta per bulan.

“Sebelum gua dapat SK Dinas atau belum masuk Dapodik, gaji gua Rp500 ribu. 2022 dapat SK Dinas naik jadi Rp700 ribu sampai 2024. 2025 ini baru Rp900 ribu naik,” ucap Reval.

Singkatnya, selama 5 tahun mengabdi menjadi guru honorer, penghasilan Reval hanya naik sebesar Rp400 ribu. Tidak perlu ditanya lagi, kata Reval, penghasilan sebesar itu tidak akan mencukupi kebutuhan keluarganya selama satu bulan.

Hal yang membuat Reval merasa miris, dari sisi beban kerja di sekolah, ia mengaku tak ada perbedaan dengan guru berstatus PNS (Pegawai Negeri Sipil). Bahkan di sekolahnya, guru ASN atau PPPK tidak direpotkan oleh tetek-bengek administrasi sekolah. Sedangkan Reval, diminta sekolah untuk mengurusi hal-hal administratif di luar pekerjaan mengajar.

Menurut Reval, semua pekerjaan di luar mengajar tersebut terpaksa dilakoni sebab guru lain mengaku ‘tak begitu mengerti’. Sebagai guru yang paling muda, mau tak mau ia mengambil tanggung jawab. Terkadang, dari membantu urusan internal sekolah ini, Reval mendapatkan upah tambahan.

“Kadang pemberkasan, bikin poster, kadang ngisi-ngisi syarat apa lah buat ke dinas, ya apa aja gue kerjain, nanti ada upahnya juga walaupun nggak seberapa,” terang dia.

Reval pertama kali mengajar di sekolah 2020 akhir. Saat itu, bahkan ia tidak terdaftar secara ‘resmi’ sebagai guru dalam sistem. Penuturannya, saat itu sekolah kekurangan guru untuk pelajaran agama dan juga tengah mencari wali kelas. Ia direkrut sekolah namun belum ada pengajuan secara resmi di dinas pendidikan.

Imbasnya, upah Reval selama dua tahun pertama diambil dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tetapi masuk di dalam kategori pengadaan barang. Itupun gajinya yang kala itu masih Rp500 ribu sering kali dirapel hingga 2-3 bulan.

“Baru pas gua dapat SK dari Dinas itu di BOS secara resmi langsung ke gua, maksudnya ada lah jatah guru honorer. Sebelumnya mah kayak nggak dianggap, kayak barang aja gitu jatohnya gue,” kata dia sambil tertawa.

Meski saat ini penghasilannya sudah Rp900 ribu per bulan, serta terdaftar secara resmi di Dapodik, Reval masih diselimuti rasa was-was. Sudah dua bulan ini, atau selama Juli hingga Agustus 2025, gajinya belum turun. Keterangan pihak dinas, ini disebabkan oleh kebijakan efisiensi dari pemerintah pusat.

Pihak sekolah memberitahukannya kebijakan efisiensi Presiden Prabowo Subianto memang membuat alokasi dana BOS menjadi terbatas. Untuk guru honorer per sekolah, kata Reval, dibatasi menjadi hanya 20 persen. Karenanya perlu ada utak-atik alokasi agar Reval tetap bisa digaji dan kebutuhan sarana-prasarana sekolah juga terpenuhi.

“Intinya, ya gua diminta sabar karena pasti cair tapi dirapel, dananya ya mungkin dipakai lain dulu. Cuma kalau begini gaji gua Rp900 ribu bisa turun lagi, apa orang-orang pusat kalau bikin kebijakan itu nggak mikir ya ke bawah?” ucap Revan terheran-heran.

Untuk menambal kebutuhan harian keluarganya, Revan terpaksa ‘gali lubang tutup lubang’. Ia juga mesti melakoni berbagai macam pekerjaan sampingan di luar mengajar. Mulai dari berjualan, menawarkan jasa desain dan mengedit foto, hingga mengajar les privat.

“Sekarang gini aja, emang cukup Rp900 ribu? Apalagi dirapel. Mayan lah kerja-kerja yang lain bisa sampai Rp500 ribuan. Tapi kan nggak enaknya, kita ngajar anak-anak tapi harus juga mikirin anak di rumah biar nggak stunting? Biar dapur tetap ngebul,” ungkap Revan.

 

Termarjinalisasi

Eksistensi guru honorer di Indonesia memang tampak seperti kelompok marjinal. Nasib guru honorer diwarnai kisah nelangsa dan kegamangan. Mereka dikungkung status yang tidak pasti dan tanpa kejelasan penghasilan. Buramnya jenjang karir guru honorer tercermin jelas dari ketidakjelasan pemerintah mengatur eksistensi guru honorer.

Keberadaan guru honorer masih dibutuhkan di lapangan karena banyaknya kebutuhan guru untuk mengajar di sekolah negeri. Di sisi lain, sederet regulasi yang dikeluarkan pemerintah justru meniadakan eksistensi guru honorer.

Misalnya, Surat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Nomor B/185/M.SM.02.03/2022 tentang Status Kepegawaian di Lingkungan Instansi Pemerintah Pusat dan Daerah; Surat Edaran Menpan RB Nomor B/1527/M.SM.01.00/2023 yang tidak memperkenankan pengangkatan non-PNS/non-PPPK tanpa nomor registrasi Badan Kepegawaian Daerah (BKN); serta dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN pada Pasal 66.

Lucunya, pemerintah tidak bisa mengelak bahwa mereka masih membutuhkan keberadaan guru honorer. Sikap ini tergambar jelas dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 63 Tahun 2022 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Dana Bantuan Operasional Satuan Pendidikan Pasal 40. Aturan itu mengatur jelas terkait pemberian gaji bagi guru honorer lewat Dana BOS.

Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) dan GREAT Edunesia Dompet Dhuafa sempat melakukan survei kesejahteraan guru di Indonesia pada pekan pertama bulan Mei 2024. Survei dilakukan secara daring terhadap 403 responden guru di 25 provinsi. Responden survei itu terdiri dari 123 orang berstatus sebagai guru PNS, 118 guru tetap yayasan, 117 guru honorer atau kontrak dan 45 Guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

Hasilnya, sebanyak 42 persen guru memiliki penghasilan di bawah Rp2 Juta per bulan dan 13 persen di antaranya berpenghasilan dibawah Rp500 Ribu per bulan. Jika dirinci, berdasar status kepegawaian, 74 persen guru honorer atau kontrak memiliki penghasilan di bawah Rp2 Juta per bulan. Bahkan, 20,5 persen diantaranya masih berpenghasilan dibawah Rp500 Ribu.

Mesti Ada Kerja Sampingan

Peneliti IDEAS, Muhammad Anwar, menyatakan kondisi kesejahteraan guru, terutama yang berstatus honorer, sampai hari ini masih jauh dari kata layak. Tak heran, hampir sembilan dari sepuluh guru mengaku penghasilannya terasa pas-pasan, bahkan kurang.

Untuk menutupi kebutuhan rumah tangga, para guru terpaksa bekerja sampingan. Ada yang mengajar les privat, berdagang makanan di warung, hingga menjadi pengemudi ojek daring selepas jam mengajar.

“Semua itu dilakukan demi satu hal yaitu agar dapur tetap mengepul dan anak-anak tetap bisa bersekolah,” ucap Anwar kepada wartawan Tirto, Rabu (27/8/2025).

Namun, kata Anwar, walau punya penghasilan tambahan dari pekerjaan paruh waktu, tetap saja kebutuhan hidup yang tinggi masih belum bisa terpenuhi seutuhnya. Mayoritas guru yang memiliki sampingan tersebut hanya mendapat kurang dari Rp 500 ribu.

Karenanya, tekanan ekonomi membuat guru honorer sangat bergantung pada utang. Anwar menjelaskan, menurut survei IDEAS, hampir 80 persen guru mengaku harus mengambil pinjaman. Baik berutang di bank, koperasi, maupun kepada kerabat dan tetangga. Bahkan, mereka juga berutang kepada aplikasi pinjaman daring atau pinjol.

Di luar itu, status kerja yang tidak pasti membuat posisi mereka semakin rapuh. Meski ada yang telah puluhan tahun mengabdi, kata Anwar, banyak guru honorer mengaku tetap tak mendapatkan kepastian karier, jaminan kesehatan, atau tunjangan pensiun.

“Hidup mereka [guru honorer] seolah berada di dalam ruang tunggu tanpa kepastian akhir,” terang dia.

Survei IDEAS juga menemukan separuh dari guru pernah menggadaikan atau menjual barang berharga untuk kebutuhan hidup. Mulai dari menggadai perhiasan, emas kawin, hingga BPKB kendaraan, bahkan sertifikat tanah atau rumah yang dimiliki keluarga.

Di sisi lain, Anwar menuturkan temuan yang paling menggetarkan hati. Meski berada dalam serba keterbatasan, tetapi lebih dari 93 persen guru honorer tetap menyatakan akan terus mengabdi hingga pensiun.

“Dedikasi mereka melampaui hitungan rupiah. Mereka terus hadir di ruang kelas, menyusun pelajaran, mendampingi anak didik, meski kesejahteraan mereka sendiri belum sepenuhnya terjamin,” kata Anwar

 

Pengakuan Retorika

Profesi guru terus diakui sebagai pekerjaan mulia, tetapi pengakuan itu sering berhenti pada tataran retorika. Negara belum bersungguh-sungguh menempatkan guru terutama honorer, sebagai prioritas utama dalam kebijakan pendidikan.

Anggaran pendidikan terus naik, tetapi komposisinya kerap terserap ke belanja birokrasi dan proyek infrastruktur pendidikan, bukan diarahkan langsung pada peningkatan kesejahteraan tenaga pendidik di lapisan paling bawah. Keberpihakan negara terlihat hanya dalam aspek administratif, bukan pemenuhan hak dasar guru untuk hidup layak.

Banyak guru honorer telah mengabdi belasan bahkan puluhan tahun, tetapi status mereka tetap menggantung. Ketidakjelasan pengangkatan menjadi ASN atau PPPK membuat guru honorer hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian.

Alhasil, meski menjalankan beban kerja yang sama dengan guru ASN dari mulai mengajar, menyusun perangkat pembelajaran, hingga mendampingi siswa, namun hak guru honorer sangat timpang.

“Ketidakberpihakan struktural inilah yang membuat profesi guru di Indonesia belum memberi kesejahteraan,” ujar Anwar.

Andi Febriansyah, perwakilan dari Aliansi Guru Honorer Muda, menilai memang nasib guru honorer di Indonesia masih tidak jelas. Pengangkatan guru melalui skema PPPK juga tidak memberikan solusi, bahkan guru kembali dikategorikan sesuai level prioritas pengangkatan.

Lucunya, bahkan status PPPK yang notabenenya adalah harapan bagi guru-guru non-PNS atau honorer yang tersisa saat ini, juga mengeluarkan kategori status PPPK paruh waktu.

Menurut Andi, yang juga merupakan seorang guru honorer berstatus diangkat pemerintah daerah DKI Jakarta, banyak persoalan yang saat ini melanda guru honorer. Selain problem kesejahteraan yang belum beres, tata kelola guru juga semakin semrawut. Misalnya, banyak daerah yang mulai ‘menyingkirkan’ guru honorer dari sekolah.

Andi sendiri mengaku, ia merupakan salah satu korban ‘cleansing’ guru honorer yang sempat ramai di tahun ajaran baru 2024/2025 lalu di Jakarta. Namun saat ini, ia bisa bernapas lega karena kembali diangkat menjadi guru honorer pemda. Kendati begitu, status pekerjaannya sebetulnya cukup rawan karena status kontraknya harus diperbaharui setahun sekali.

“Hari-hari ini tuh guru selalu dijadikan objek uji coba. Seperti kelinci percobaan mengenai status kerjanya tidak pasti, apalagi guru honorer yang notabenenya mereka tidak memiliki kepastian. Sangat miris juga ketika ada guru di gaji Rp500 ribu, itu banyak di daerah,” kata Andi kepada wartawan Tirto, Rabu (27/8/2025).

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Fahriza Marta Tanjung, menyatakan komitmen pemerintah masih rendah untuk menyejahterakan guru. UU Guru dan Dosen sudah 20 tahun eksis tetapi banyak mandat yang belum dilaksanakan oleh pemerintah. Terutama terkait penghasilan guru di atas kebutuhan hidup minimum.

Kebutuhan hidup minimum merupakan standar yang biasa digunakan untuk menggaji buruh. Tetapi realitanya, kata Fahriza, jangankan di atas standar, setara saja tidak dengan buruh.

“Kondisi kesejahteraan guru, khususnya guru swasta maupun guru honorer di sekolah negeri secara umum memprihatinkan. Masih banyak guru yang diberi gaji Rp20 ribu sampai Rp30 ribu per jamnya yang dibayarkan sekali dalam satu bulan. Andai mengajar maksimal sampai 40 jam maka ia dibayar hanya Rp800 ribu sampai Rp1,2 juta per bulannya,” ungkap Fahriza kepada wartawan Tirto, Rabu (27/8/2025).

Sumber: https://tirto.id/nasib-guru-honorer-beban-sama-tapi-gaji-beda-hgx5