tirto.id – Hari sial tak ada di kalender. Demikian banyak orang kerap berujar. Tapi bagi Fika, penjual daring busana muslim, mudah menunjuk 30 Agustus sebagai tanggal apes. Pada hari itu, fitur Live TikTok—medium utamanya berdagang—tiba-tiba hilang begitu saja. Ibarat lapak kaki lima digusur Polisi Pamong Praja.
“Padahal lagi adain campaign payday tanggal 25-31 Agustus,” katanya kepada Tirto, Kamis (4/9/2025).
Kebijakan TikTok menghilangkan fungsi Live diumumkan saat ekskalasi kekerasan dalam unjuk rasa di berbagai daerah meningkat pada Sabtu malam pekan lalu.
Melalui keterangan resminya, platform milik ByteDance tersebut menyampaikan bahwa penangguhan sukarela ini merupakan langkah pengamanan tambahan untuk menjaga TikTok sebagai “ruang yang aman dan beradab.”
Namun, penjelasan itu tak bisa memadamkan kekesalan Fika. Sebab, selama ini live streaming telah menjadi tulang punggung usahanya. Puluhan jam sudah aktivitas ini ia lakoni: dimulai dengan menyalakan kamera, menyapa audiens, memamerkan potongan baju, menjawab pertanyaan harga, hingga menawarkan diskon spontan.
Interaksi real time itulah yang membuat penonton percaya lalu bergegas menekan tombol “beli sekarang.” Dari sana ia meraup omzet harian Rp6-7 juta. Tapi begitu fitur dimatikan, pendapatan anjlok ke Rp4-5 juta.
“Dengan dua hari off jadi enggak maksimal penjualannya. Yang order juga dikit, padahal biasanya penjualan terbesar dari Live,” ucapnya.
Itu sebabnya, ia mempertanyakan mengapa pemerintah tak memikirkan ekses keputusan yang dilakukan platform secara sukarela itu. “Mungkin nilai (pendapatan) segitu enggak ngaruh bagi dia (pemerintah), tapi buat kita lumayan banget,” ujarnya.
Ia bahkan menyarankan pemerintah mencari cara lain. Bukan memutus kanal penjualan, melainkan membatasi konten demonstrasi saja. “Kan canggih ya jaman sekarang, adain filter, yang diblokir khusus pedemo, jadi khusus e-commerce itu masih bisa jualan. Atau misal enggak bisa filter, ya kasih benefit buat para penjual supaya konten jualannya naik, jadi tanpa Live pun bisa dijangkau sama para audiens,” cetus perempuan 27 tahun tersebut.
Tak hanya Fika, Kurniawan, pendiri sekaligus pembina Kelompok Peternak Muda (KPM) Farm Jaya Rabbitry yang menjual berbagai jenis kelinci, juga menyampaikan keresahan serupa. Ketika fitur tersebut dimatikan, ia kehilangan omzet sekitar Rp1 juta, yang biasanya bisa ia peroleh dengan berdagang satu setengah jam di hadapan kamera.
“Live itu enggak lama, paling satu jam setengah, itu sekali Live TikTok itu ada 3-4 customer, lumayan untuk penjualan,” ucapnya.
Karena itu, ia meminta pemerintah meredam gelombang protes berujung kekerasan yang dapat berbahaya bagi pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Caranya, kata dia, bukan dengan kekerasan aparat melainkan berbenah diri dan berhenti mempersulit masyarakat sepertinya.
“Harapan dari kami sebagai pedagang online, jangan terlalu banyak aturan. Aturannya jangan bejibun, belibet, kita kan usaha enggak dimodalin sama negara. Semoga semua pedagang, terutama daya beli masyarakat enggak merosot,” ungkapnya.
Keresahan Fika dan Kurniawan diamini Ketua Umum Asosiasi Industri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Indonesia (Akumandiri) Hermawati Setyorinny. Dalam hematnya, penangguhan fitur siaran langsung di tengah huru-hara demonstrasi membuat pelaku usaha terjepit.
Di satu sisi, mereka tidak bisa membuka toko luar jaringan (luring) lantaran aksi unjuk rasa, sedangkan berjualan dalam jaringan (daring) pun terkena pembatasan live dari TikTok.
“Nah, kalau ini kan jelas-jelas kondisi yang orang nggak bisa berjualan secara offline, tapi untuk melakukan usaha melalui live TikTok nggak bisa. Kan membuat mereka benar-benar kehilangan mata pencarian sebenarnya untuk saat sekarang,” katanya kepada Tirto.
Memang, ada peluang agar pelaku UMKM dapat beralih ke platform lain yang menyediakan fitur live serupa. Tapi, menurut Hermawati, tingkat penjualannya akan berbeda. Anggota Akumandiri sendiri lebih banyak menggunakan fasilitas live TikTok untuk berjualan dibandingkan dengan fitur serupa—milik Shopee, misalnya.
“Nah, katakan itu mereka bisa ke Shopee, tetap penurunan omzetnya bisa 50 persen mereka terdampak karena yang live TikTok-nya dibatasi. Karena kan TikTok itu pangsa pasarnya luas banget melebihi Shopee. TikTok merambah sampai pinggiran,” ujarnya.
Sementara itu, peneliti IDEAS, Sri Mulyani, menganggap bahwa penutupan fitur Live TikTok tak dilakukan sukarela oleh platform tetapi atas dorongan pemerintah. Meski efektif sebagai strategi de-eskalasi, ia menyayangkan pemerintah tak memikirkan imbasnya terhadap perekonomian.
Sebabnya jelas: selama ini, ribuan pelaku UMKM dan kreator konten menggantungkan usahanya pada interaksi langsung dengan konsumen melalui live streaming. “Fitur ini bukan sekadar pelengkap, melainkan kanal utama yang menopang kepercayaan pembeli sekaligus mendorong terjadinya transaksi spontan,” kata Sri Mulyani kepada Tirto.
Dus, ketika fitur Live dimatikan meski hanya beberapa hari, pendapatan para pedagang merosot tajam. Bagi pedagang kecil yang sedang berusaha bangkit dari kondisi ekonomi sulit, kebijakan ini terasa seperti pukulan tambahan.
Lebih jauh lagi, Sri Mulyani juga menilai keputusan tersebut menimbulkan kekhawatiran akan preseden buruk. Pasalnya, jika tiap kali terjadi gejolak sosial pemerintah memilih memutus akses digital, maka publik akan merasakan pembatasan atas hak berekspresi dan memperoleh informasi.
“Alih-alih membangun sistem moderasi konten yang lebih kuat atau meningkatkan literasi digital masyarakat, pemerintah justru cenderung mengandalkan cara instan yang bersifat represif dan tidak adil bagi pelaku usaha kecil,” ucapnya, seraya menambahkan bahwa kebijakan semacam ini justru mempertontonkan lemahnya kapasitas pemerintah dalam mengelola ruang digital, dan menunjukkan jarak dengan realitas ekonomi rakyat di akar rumput.
“Stabilitas sosial memang penting, tetapi mematikan ruang ekonomi digital yang menjadi penopang jutaan keluarga jelas bukan jalan keluar yang bijak. Jika pola ini terus berulang, bukan hanya demokrasi digital yang terkikis, melainkan juga keberlanjutan ekonomi UMKM yang semakin terancam,” sambungnya.
Penutupan fitur TikTok Live selama beberapa hari mungkin tampak sepele bagi pemerintah, tetapi bila dilihat dari skala transaksi e-commerce nasional, dampaknya tidak kecil. Data resmi dari Menteri Perdagangan menyebutkan nilai transaksi e-commerce Indonesia pada 2024 mencapai Rp487 triliun, atau setara Rp1,3 triliun per hari. Artinya, penghentian fitur Live TikTok berpotensi mengganggu perputaran uang dari transaksi e-commerce.
“Sebagai contoh, berdasarkan penelusuran kami secara daring ada banyak pedagang preloved yang biasa berjualan melalui Live TikTok mengalami penurunan omzet hingga 90 persen sejak 30 Agustus 2025. Dari biasanya menjual 100 potong baju per sesi Live, kini hanya terjual tiga potong, sebagian besar dari pelanggan lama. Di Tangerang, Forum Kewirausahaan Pemuda melaporkan sekitar 40 persen UMKM binaannya sangat bergantung pada live streaming untuk melipatgandakan omzet. Penutupan fitur tersebut diperkirakan menimbulkan kerugian hingga ratusan juta rupiah per hari,” jelasnya.
Perbedaan pandangan ini menunjukkan kontras antara pernyataan resmi pemerintah dan kondisi nyata di lapangan. Secara makro mungkin tampak kecil, tetapi secara mikro banyak UMKM menghadapi kerugian yang signifikan.
Sementara itu, langkah pemerintah yang membiarkan penutupan fitur TikTok Live dinilai sebagai kebijakan gegabah yang mengabaikan nasib usaha kecil. Menurut Sri Mulyani, ruang digital yang menjadi tulang punggung ekonomi baru justru dimatikan, tanpa mempertimbangkan dampaknya pada jutaan pedagang yang bergantung pada live streaming.
Pemerintah beralasan penutupan sementara tidak berdampak signifikan karena UMKM masih bisa berjualan di kanal lain. Pandangan ini justru meremehkan realitas lapangan. Bagi pelaku usaha mikro, live streaming bukan sekadar “fitur tambahan”, melainkan jalur utama untuk membangun kepercayaan pembeli dan menutup transaksi secara cepat.
“Kebijakan ini memperlihatkan ketidaksensitifan pemerintah terhadap kelompok ekonomi kecil yang justru sedang berjuang di tengah ketidakpastian. Jika langkah serupa terus diulang, bukan hanya ruang demokrasi yang terancam, tetapi juga keberlangsungan ekonomi jutaan UMKM yang makin terpinggirkan,” ujar Sri Mulyani.
Sumber: https://tirto.id/rugi-pedagang-usai-fitur-live-tiktok-ditangguhkan-hhe6