Menunggu Taji Paket Stimulus 8+4+5 ke Ekonomi

Menunggu Taji Paket Stimulus 8+4+5 ke Ekonomi

tirto.id – Peluncuran paket stimulus ekonomi 8+5+4 pada Senin (15/9/2025) menjadi sinyal keseriusan pemerintah dalam menggenjot pertumbuhan di sisa tiga bulan terakhir tahun ini. Alasannya jelas: perekonomian nasional diperkirakan melambat pada kuartal III-2025 setelah tumbuh 5,12 persen secara tahunan pada periode April–Juni lalu.

Permata Institute for Economic Research (PIER), misalnya, memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III-2025 akan mendarat di angka 4,99 persen. Sementara itu, Bank Mandiri dalam Economic Outlook Q3 2025 memperkirakan pertumbuhan berkisar antara 4,9-5,0 persen.

Secara spesifik, akselerasi program pendorong ekonomi 2025 difokuskan pada delapan paket kebijakan dengan total anggaran Rp16,23 triliun. Program tersebut meliputi magang lulusan perguruan tinggi, bantuan pangan, insentif PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP), hingga padat karya tunai (cash for work) di Kementerian PUPR dan Kementerian Perhubungan.

Dengan skenario optimistis, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan program-program tersebut dapat mengatrol pertumbuhan ekonomi 2025 hingga 5,2 persen. “Kita berharap target 5,2 (persen) kita bisa capai,” ujarnya di Istana Negara, Jakarta, Senin (15/9/2025).

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyambut positif paket stimulus ekonomi ini. Ketua Umum Apindo, Shinta Kamdani berharap delapan program akselerasi yang diluncurkan pemerintah dapat menjadi pendorong roda aktivitas industri dan mengerek konsumsi domestik yang jadi tulang punggung Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.

“Di satu sisi menjaga daya beli masyarakat (demand side), di sisi lain memperkuat kapasitas produksi (supply side),” ujarnya kepada Tirto, Selasa (16/9/2025).

Ia mencontohkan, diskon 50 persen iuran JKK/JKM untuk ojol hingga kurir, serta perpanjangan PPh 21 DTP dapat memperkuat daya beli dan konsumsi rumah tangga dalam menghadapi tantangan middle-class squeeze atau kelas menengah yang terjepit. Padahal, kelompok ini adalah motor penggerak permintaan domestik.

“Dalam situasi global yang penuh turbulensi, stimulus ini ibarat injeksi adrenalin, memberi pesan bahwa mesin ekonomi Indonesia tidak hanya bertahan, tapi harus berlari lebih cepat,” tuturnya.

Meski menyambut positif, ia mengingatkan pentingnya eksekusi yang tepat sasaran. Shinta Kamdani menegaskan bahwa desain kebijakan penting, namun eksekusi dari kebijakan tersebut jauh lebih penting. Apalagi anggaran yang disediakan cukup besar, termasuk penempatan dana pemerintah di Himbara sebesar Rp200 triliun.

Policy design is important, but execution is everything. Jika distribusi dana Rp200 triliun hanya menumpuk di bank, efeknya minimal,” ucapnya.

Dia menekankan, harus ada sistem monitoring yang memastikan penyaluran cepat, transparan, dan benar-benar sampai ke pelaku usaha di lapangan.

Lebih jauh, dia menyebut dunia usaha tentu membutuhkan insentif untuk percepatan. Namun, yang tidak kalah penting adalah pembenahan struktural. “Jika ingin percepatan investasi, jawabannya jelas: pangkas high-cost structure, dan sederhanakan regulasi,” ucapnya.

Menurutnya, dunia usaha saat ini menghadapi biaya tinggi yang luas dan menyeluruh. Biaya berbisnis di dalam negeri jauh lebih mahal dibandingkan negara tetangga dari sisi biaya logistik, biaya energi, hingga cost of compliance dari birokrasi. “Semuanya menjadi friksi yang menggerogoti total factor productivity,” ucapnya.

Sementara itu, Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi menekankan pentingnya mengikat penyaluran pada target mingguan yang terukur, serta menautkan setiap rupiah ke output riil, seperti stok barang, jam kerja, dan proyek berjalan.

Untuk memperkuat pengawasan, ia merekomendasikan dashboard publik mingguan, audit berbasis e-invoice, hingga sanksi otomatis bagi bank dan pelaksana yang melanggar aturan penyaluran.

“Agar benar-benar mendorong pertumbuhan nasional, pemerintah harus mengikat penyaluran pada target mingguan yang terukur, mempertegas larangan memarkir dana di instrumen keuangan, serta koordinasi dengan BI (Bank Indonesia) yang menjaga stabilitas rupiah akan memperkuat transmisi ke konsumsi dan investasi,” kata Syafruddin saat dihubungi Tirto.

Peneliti Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) Muhammad Anwar menilai paket stimulus ekonomi 2025 (8+4+5) memang berupaya menggabungkan tiga fokus utama: menjaga daya beli, memastikan kesinambungan jangka menengah, dan membuka lapangan kerja. Namun, menurutnya, minimnya anggaran yang digelontorkan akan membuat dampaknya kurang signifikan untuk jangka menengah panjang.

Anwar menyebut ada tiga tantangan utama dalam pelaksanaan stimulus ini. Pertama, besaran anggaran yang terlalu minim. Kedua, kualitas eksekusi birokrasi yang kerap lambat atau tumpang tindih sehingga menyulitkan penyaluran bantuan. Ketiga, konektivitas dengan agenda transformasi struktural. Program ini, katanya, harus terhubung dengan industrialisasi, hilirisasi, dan digitalisasi. Tanpa itu, pertumbuhan yang dihasilkan hanya bersifat konsumtif.

“Untuk benar-benar mendorong pertumbuhan nasional, pemerintah perlu memastikan alokasi stimulus lebih besar, distribusinya cepat dan tepat sasaran, serta terhubung dengan strategi jangka panjang. Kalau tidak, stimulus ini hanya jadi ‘penyangga daya beli sementara’, bukan mesin penggerak ekonomi baru,” tutur Anwar.

Ia menambahkan, meski stimulus diarahkan ke sektor penting seperti UMKM, pekerja informal, dan padat karya—yang manfaatnya bisa langsung dirasakan masyarakat—program tersebut masih bersifat sementara. Dampaknya lebih pada menjaga daya beli sesaat daripada membangun fondasi pertumbuhan baru.

“Dengan kata lain, stimulus ini lebih bersifat ‘penahan gejolak’ ketimbang penggerak jangka panjang,” jelasnya.

 

Sumber: https://tirto.id/menunggu-taji-stimulus-845-ke-ekonomi-hhSR