Potensi Dan Efisiensi Ekonomi Mudik

mudik4_david11

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Setiap momen Hari Raya Idul Fitri, Ningsih (42 tahun) Hari-hari ini masyarakat kembali menyaksikan fenomena terbesar negeri ini, mudik. Bagi masyarakat perantau, mu dik adalah sebuah kewajiban. Spiritualitas mudik ini kemudian bertemu dengan semangat religius Ramadhan dan Idul Fitri. Kombinasi migrasi dan Idul Fitri di Indonesia ini kemudian menciptakan mudik sebagai salah satu eventritual rutin tahunan terbesar di dunia.

Survei Badan Litbang Kemenhub memprediksi, pada 2016 ini terdapat 25,5 juta orang yang akan melakukan mudik di sembilan wilayah aglomerasi, yaitu Jabodetabek (13 juta), Gerbang kertasusila (4 juta), Bandung Raya (2,9 juta), Mebidangro (1,7 juta), Kedungsepur (1,5 juta), Jogmantul (723 ribu), Bandar Lampung (500 ribu), Banten (470 ribu), dan Sarbagita (400 ribu).

Dari satu perspektif, mudik adalah fenomena sosial yang positif. Mudik memberi andil yang besar dalam menjaga nilai-nilai kekeluargaan, solidaritas, dan harmoni sosial. Sementara, dampak ekonomi mudik juga tidak bisa dipandang remeh. Bersamaan dengan mudik, triliunan rupiah uang mengalir setiap tahunnya ke daerah asal pemudik yang menggerakkan roda perekonomian lokal, memberi jaminan sosial, dan melepaskan penduduk dari kemiskinan, walau mungkin temporer.

Dari riset IDEAS tentang pola migrasi dan pertumbuhan wilayah aglomerasi, di mana ke untungan ekonomi dari mengumpulnya aktivitas komersial membuat kota inti berkembang ke wilayah sekitarnya, tetapi dengan kecenderungan tanpa perencanaan (urban sprawl), diperoleh estimasi profil mudik yang tidak dapat diremehkan.

Pada 2016 ini, IDEAS memproyeksikan akan terdapat potensi 32,2 juta pemudik, meningkat dari 24,2 juta pemudik pada 2005 atau tumbuh 2,6 persen sepanjang 2005-2016 (compound annual growth rate/CAGR).

Pergerakan puluhan juta orang dalam waktu yang relatif bersamaan ini selain melibatkan ribuan angkutan umum di darat, laut, dan udara, juga diproyeksikan akan melibatkan pergerakan jutaan kendaraan pribadi. Riset IDEAS memproyeksikan lebih dari delapan juta kendaraan pribadi akan terlibat dalam mudik, yaitu 2,4 juta mobil dan 5,8 juta sepeda motor.

Pergerakan puluhan juta manusia dan ken daraan bermotor dalam waktu yang relatif bersamaan ini tak pelak membutuhkan pengeluaran yang sangat besar untuk membiayai perjalanan mudik. Riset IDEAS memproyeksi kan total pengeluaran yang dikeluarkan 32,2 juta pemudik selama arus mudik dan arus balik 2016 ini sebesar Rp 124,4 triliun.

Pengeluaran rata-rata sebesar Rp 3,9 juta per orang ini diproyeksikan digunakan pemudik untuk membiayai akomodasi, transportasi, makanan-minuman, dan jasa hiburan dan rekreasi selama musim mudik.

Momentum mudik umumnya juga digunakan pemudik untuk membawa hasil simpanan dari penghasilan di tanah rantau (remitansi). Dengan memperhitungkan kebijakan THR (tunjangan hari raya) dan tingkat upah minimum, IDEAS memproyeksikan 14,8 juta pemudik yang diestimasikan berstatus pekerja akan membawa remitansi sebesar Rp 60,6 triliun pada musim mudik 2016 ini.

Dengan demikian, IDEAS memproyeksikan total perputaran uang pada musim mudik 2016 ini sebesar Rp 185 triliun. Angka ini setara dengan 1,47 persen dari PDB atau 8,88 persen dari APBNP 2016 yang baru saja disahkan. Untuk sebuah perhelatan dengan durasi kurang dari sebulan, angka ini tentu sangat signifikan.

Dengan signifikansinya di atas, semua pihak umumnya kemudian memberi toleransi besar bagi mudik, memberinya pembenaran de ngan THR, memfasilitasinya dengan acara mudik gratis bersama, bahkan mendorongnya dengan membuat jadwal libur panjang setiap Hari Raya Idul Fitri.

Padahal, ditinjau dari perspektif makro- jangka panjang, fenomena mudik sesungguhnya adalah inefisiensi, baik dari sisi sosial mau pun ekonomi. Secara sosial, mudik identik dengan berbagai kerumitan yang sering menimbulkan biaya sosial dan ekonomi yang tidak kecil.

Secara ekonomi, mudik menghabiskan begitu banyak sumber daya ekonomi. Pengeluaran pemudik selama musim mudik 2016 se besar Rp 124,4 triliun yang seluruhnya dihabiskan untuk konsumsi jangka pendek, tidak lebih dari sebulan, adalah bentuk nyata pemborosan ekonomi yang luar biasa. Angka ini bahkan dua kali lebih besar dari estimasi angka remitansi yang dibawa pemudik.

Pengeluaran sebesar Rp 124,4 triliun tentu akan menggerakkan perekonomian dalam jangka pendek. Namun, mudik sama sekali tidak berdampak pada kapasitas produksi ataupun daya saing perekonomian dalam jang ka panjang.

Padahal, dana sebesar ini cukup untuk membiayai program raskin (beras untuk rakyat miskin) selama lima tahun atau program KUR (Kredit Usaha Rakyat) selama tujuh tahun. Dana sebesar ini juga lebih dari cukup untuk membiayai seluruh rencana program pembangunan infrastruktur transportasi perkotaan sepanjang 2015-2019.

Untuk memfasilitasi pergerakan jutaan kendaraan darat ini, khususnya di Jawa, ratusan hektare tanah pertanian dikorbankan dan ratusan triliun anggaran publik dihabiskan setiap tahunnya untuk membangun dan merawat berbagai infrastruktur transportasi darat.

Sementara itu, dampak positif dari migrasi secara umum dan mudik secara khusus, yaitu remitansi, tidak terlihat secara jelas. Remitansi sebesar Rp 60,6 triliun per tahun jika di gunakan secara bijak, seperti untuk kesehatan dan pendidikan anak atau membeli sawah dan hewan ternak, secara umum akan berdampak pada penurunan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan.

Namun, pada kenyataannya remitansi yang dibelanjakan terdesentralisasi oleh jutaan keluarga migran ini lebih cenderung dibelanjakan secara konsumtif. Di mana motivasi utama bukan untuk investasi fisik ataupun investasi manusia, melainkan sekadar memamerkan konsumerisme dan gaya hidup urban (demonstration effect).

Dalam jangka pendek, fenomena mudik di Indonesia membutuhkan upaya mempermudah dan mempermurah arus mudik dan arus balik, khususnya di Jawa. Namun, upaya mem permudah dan mempermurah mudik ini harus secara progresif berpindah dari fokus pada kendaraan pribadi ke fokus pada transportasi massal. Pembangunan transportasi Jawa harus berfokus pada transportasi berbasis rel, bukan transportasi berbasis jalan, terlebih jalan tol.

Selain itu, dalam jangka pendek dibutuhkan pula rekayasa sosial dan ekonomi yang masif dan sistematis untuk memberdayakan remitansi agar mampu menggerakkan ekonomi daerah dan desa. Sementara itu dalam jangka panjang, dibutuhkan upaya pemerataan pembangunan yang progresif antara Jawa dan luar Jawa, antara kota dan desa, antara sektor industri-modern dan sektor pertanian- tradisional. Karena fenomena mudik berakar pada ketidakseimbangan pembangunan Jawa dan luar Jawa, terutama antara kota dan desa. Oleh Yusuf Wibisono Direktur Eksekutif IDEAS