Bencana alam yang terus mengguncang Indonesia telah membuat masalah pengangguran menjadi semakin pelik. Berkaitan dengan dampak bencana terhadap hilangnya lapangan pekerjaan ini, program cash for work (CFW) kini telah menjadi fenomena umum dalam program-program pemulihan pascabencana. Program CFW ini telah dijalankan banyak lembaga swadaya masyarakat (LSM) di berbagai daerah bencana, termasuk oleh organisasi pengelola zakat (OPZ), di berbagai daerah bencana di Indonesia.
Sebagai sebuah program jangka pendek/temporer, CFW memiliki banyak keunggulan dibanding program bantuan bencana lainnya. CFW memberi manfaat bagi daerah bencana dengan cara menyerap tenaga kerja yang menganggur, menginjeksi perekonomian lokal dengan dana segar, memberdayakan individu dengan memberi mereka pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dan memfasilitasi perekonomian kembali ke jalur normal dengan membangun kapasitas lokal dan menyediakan peluang-peluang ekonomi produktif.
Memberi lapangan kerja secara cepat adalah titik kritis CFW. Bencana besar umumnya membawa kerusakan massal, ratusan ribu orang secara tiba-tiba kehilangan pekerjaan atau tidak dapat menjalankan pekerjaan rutin mereka. Dalam kondisi seperti ini, CFW menjadi pilihan yang sangat logis dengan memberi individu kesempatan terlibat dalam aktivitas konstruktif dan pada saat yang sama memberi stimulus bagi perekonomian lokal dan mempromosikan pengambilan keputusan di tingkat komunitas dan individu.
CFW secara umum mirip program padat karya, memberi dana untuk menyelesaikan proyek-proyek public works. Namun, CFW lebih bersifat jangka pendek dengan penekanan memberi stimulus secara cepat kepada perekonomian dan menyediakan peluang kerja pascabencana. CFW secara umum tidak ditujukan untuk program jangka panjang dan didesain sedemikian rupa agar tidak memberi disinsentif bagi recovery bisnis lokal.
Evaluasi CFW
CFW secara umum bertindak sebagai program jaring pengaman pascabencana. CFW dapat kita evaluasi dengan tiga kriteria utama, yaitu cakupan (coverage) program, minimalisasi kebocoran (leakages), dan minimalisasi biaya operasional program.
Sebagaimana program padat karya, cakupan CFW umumnya cukup tinggi. Namun, CFW sering kali gagal dalam mengidentifikasi “pekerja hantu”, yaitu mereka yang tercantum dalam daftar CFW namun tidak bekerja. CFW juga sering gagal dalam hal menjaga produktivitas. Rendahnya produktivitas umumnya berkaitan dengan target yang kurang jelas atau adanya anggapan awal bahwa semua penerima program akan mendapat bayaran tanpa melihat output kerja-nya.
Kebocoran CFW umumnya lebih banyak berasal dari kenyataan bahwa program sering kali gagal membedakan penerima program. Banyak keluarga yang mengikutsertakan anggota keluarganya lebih dari satu orang. “Kebocoran” seperti ini membuat program tidak dinikmati secara merata atau lebih kecil dari yang seharusnya. Kebocoran CFW juga dapat disebabkan oleh kegagalan dalam menentukan tingkat upah program yang tepat. Tingkat upah yang salah sering mendistorsi pasar kerja lokal dengan masuknya orang yang masih memiliki pekerjaan ke dalam program CFW atau hilangnya motivasi wirausahawan lokal untuk memulai kembali usahanya.
Biaya operasional CFW yang signifikan sering kali bukan dalam ukuran moneter, melainkan non-moneter. Ketika didesain secara salah, CFW sering dituding sebagai penyebab pudarnya nilai-nilai luhur lokal, seperti kekeluargaan dan gotong-royong. Sebagai misal, beberapa LSM asing mendesain CFW di Yogyakarta pascagempa 2006 untuk program membersihkan lingkungan lokal dan pengelolaan lahan individual. Akibatnya, masyarakat menjadi hedonis-materialistis, tidak mau lagi bekerja jika tidak dibayar, tidak mau lagi bergotong-royong membersihkan lingkungan sendiri.
Dengan demikian, pelaksanaan CFW penting untuk memperhatikan beberapa faktor berikut. Pertama, mekanisme monitoring dan target kerja yang jelas. Penting bagi penyelenggara CFW untuk melakukan pemeriksaan langsung di lapangan atas kehadiran pekerja dan menugasi pengawas dari luar masyarakat lokal untuk menjaga produktivitas kerja agar sesuai dengan target.
Kedua, penentuan tingkat upah program yang tepat. Upah CFW sebaiknya ditetapkan di bawah tingkat upah lokal yang ada, agar tidak mendorong kenaikan upah lokal. Upah yang cukup rendah juga akan menjadi disinsentif agar tidak terjadi perpindahan tenaga kerja berupa masuknya orang-orang yang sudah bekerja atau masuknya pekerja dari daerah non-bencana ke dalam program CFW.
Ketiga, program CFW sebaiknya ditujukan untuk membangun infrastruktur sosial atau membangun keahlian (skill) komunitas. Pembangunan infrastruktur publik, seperti rumah sakit, jembatan, sekolah, atau pasar, akan bermanfaat dalam jangka panjang, menambah stok modal masyarakat, serta membuka peluang-peluang ekonomi produktif. Sedangkan membangun keahlian komunitas, seperti pembangunan instalasi pupuk organik, instalasi pengolahan daur ulang sampah, atau instalasi biogas berbahan baku kotoran ternak, akan meningkatkan human capital, meningkatkan pendapatan dan memperbaiki distribusi pendapatan, serta meningkatkan fleksibilitas pasar tenaga kerja.
Filantropi Islam dan CFW
Menjadi menarik ketika kini filantropi Islam, seperti zakat, dihadapkan pada kasus bencana-bencana alam yang sering menimpa Indonesia, apakah zakat lebih tepat disalurkan dalam bentuk bantuan tunai langsung tanpa syarat (cash transfer) atau dalam bentuk CFW? Secara fikih, setiap muslim yang termasuk dalam salah satu kelompok mustahiq, yaitu fakir, miskin, amil, mualaf, budak, gharimin, fi sabilillah, dan ibnu sabil, berhak atas dana zakat. Namun, apakah dengan demikian Islam tidak mendukung CFW?
Dalam Islam, faktor produksi terpenting adalah bekerja, dan kemalasan dipandang sebagai kehinaan. Maka, zakat semestinya dapat digunakan sebagai modal untuk memberdayakan rumah tangga yang produktif namun tidak dapat bekerja karena terkendala oleh hambatan modal manusia, fisik, dan finansial. Organisasi pengelola zakat (OPZ) dapat menyalurkan dana filantropi Islam untuk pelaksanaan program-program yang dibutuhkan masyarakat korban bencana dalam rangka melakukan aktivitas ekonomi agar memperoleh pendapatan yang memadai. Di sini zakat harus dijadikan sebagai program spesifik yang didesain untuk mendukung penyediaan modal manusia, fisik, dan finansial yang dibutuhkan untuk pemberdayaan masyarakat pascabencana.
Meskipun demikian, zakat sebaiknya tetap berfungsi sebagai cash transfer untuk rumah tangga yang tidak produktif. Di sini zakat dapat digunakan untuk menyediakan kebutuhan dasar kelompok orang tua dan jompo, orang-orang sakit dan cacat, serta anak-anak telantar.
Dengan demikian, menurut penulis, penggunaan zakat untuk CFW sejalan dengan tujuan zakat dalam hal pengentasan masyarakat miskin melalui saluran penciptaan lapangan kerja. Di samping menyelesaikan masalah kemiskinan temporer, CFW yang didesain dengan baik akan menambah stok modal masyarakat, mengurangi tekanan terhadap penurunan tingkat upah di pasar tenaga kerja informal, serta menekan tingkat urbanisasi desa-kota. Sifat dasar program CFW, seperti upah rendah dan sifat pekerjaan yang kasar, membuatnya berfungsi sebagai self-selecting mechanism sehingga akan tepat sasaran, memperluas coverage program dan mengurangi leakages.
Satu agenda penting di sini adalah sinergi antara pemerintah dan masyarakat sipil. Kerja sama dengan elemen potensial masyarakat yang kredibel dan transparan seperti OPZ patut dipertimbangkan. OPZ selama ini mampu menunjukkan kinerja tinggi dalam penanggulangan bencana, terutama dalam tahap tanggap darurat yang membutuhkan kecepatan tindakan dan profesionalitas kerja yang tinggi. Ke depan, dengan dukungan dana pemerintah, program OPZ di bidang ini dapat diperluas ke tahap mitigasi dan rehabilitasi, termasuk program CFW.
Berdasarkan UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, pemerintah berkewajiban menyelenggarakan penanggulangan bencana dan penyediaan anggarannya. Dana kontinjensi untuk penanggulangan bencana ini mencapai Rp 4,5 triliun pada 2009. Terdapat beberapa keuntungan bagi pemerintah bila melakukan pola kemitraan dana penanggulangan bencana ini. Pertama, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas program. Kedua, menurunkan tingkat penyalahgunaan dana dan meningkatkan efektivitasnya. Ketiga, memperkenalkan iklim persaingan di dalam birokrasi dalam pengelolaan dana.
Yusuf Wibisono, “Bencana, Pengangguran, dan Cash for Work”, Koran Tempo, 07 Oktober 2009.