DPT dan Gugatan Pilpres 2019

Oleh: Yusuf Wibisono, Direktur IDEAS (Indonesia Development and Islamic Studies)

Salah satu materi utama gugatan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) pilpres 2019 yang diajukan paslon 02 ke MK (Mahkamah Konstitusi) adalah tuntutan menghapus 17,5 juta DPT (Daftar Pemilih Tetap) yang dianggap tidak valid. Dengan selisih suara paslon 01 dan 02 yang mencapai 16,9 juta suara, pembuktian 17,5 juta DPT invalid di MK akan menjadi sentral bagi paslon 02. Paslon 02 mendalilkan bahwa 17,5 juta DPT terindikasi tidak wajar karena memiliki tanggal lahir yang sama dan diduga menambah suara paslon 01. Apakah gugatan PHPU terkait DPT ini wajar dan beralasan, atau hanya mengada-ada?

DPT yang Wajar

Secara sederhana, kita dapat menilai kewajaran DPT dengan melihat komposisi penduduk menurut kelompok umur. Dengan memperhitungkan usia pemilih adalah penduduk berumur 17 tahun ke atas, kita akan mendapatkan rasio DPT terhadap jumlah penduduk yang wajar.

Pada 2019, kami memperkirakan penduduk usia 0-16 tahun adalah 77,2 juta orang. Dengan perkiraan jumlah penduduk pada 2019 adalah 266,9 juta orang, maka DPT yang wajar pada pemilu 2019 ini adalah 189,7 juta orang atau sekitar 71,1% dari jumlah penduduk. Dengan demikian, DPT pilpres 2019 yang berjumlah 190,8 juta orang atau sekitar 71,5% dari jumlah penduduk, secara umum adalah wajar.

Maka gugatan untuk menghapus 17,5 juta DPT yang dianggap tidak wajar adalah terlalu menyederhanakan masalah. Jika gugatan ini dikabulkan maka DPT kini adalah 173,3 juta atau akan membuat rasio DPT terhadap jumlah penduduk menjadi hanya 64,9%, justru DPT aktual akan menjadi tidak wajar, jauh dibawah rasio DPT wajar di kisaran 71,1%.

Namun bila kita melihat DPT per wilayah, kita memang akan mendapati sejumlah kejanggalan. Hanya 12 provinsi yang memiliki rasio DPT yang “wajar”, selebihnya terindikasi bermasalah. Sejumlah DPT provinsi terindikasi mengalami “inclusion error” yang signifikan, yaitu masuknya penduduk yang tidak berhak sebagai pemilih ke dalam DPT. Provinsi dengan DPT tidak wajar terjadi paling signifikan di Papua dimana rasio DPT terhadap jumlah penduduk mencapai 105,8%, jauh diatas rasio DPT yang wajar di kisaran 67,9%.

Provinsi dengan masalah yang sama, rasio DPT aktual jauh diatas rasio DPT yang wajar, terjadi berturut-turut di Papua Barat yang 77,0%, dari yang seharusnya hanya di kisaran 66,7%, Jawa Tengah (80,7% dari yang seharusnya 73,3%), dan Maluku (71,6% dari yang seharusnya 67,0%).

Di saat yang sama, sejumlah DPT provinsi terindikasi mengalami “exclusion error” yang signifikan, yaitu tidak dimasukannya penduduk yang berhak sebagai pemilih ke dalam DPT. Provinsi dengan DPT dibawah kewajaran terjadi paling signifikan di Kepulauan Riau dimana rasio DPT terhadap jumlah penduduk hanya 54,8%, jauh dibawah rasio DPT yang wajar di kisaran 69,2%.

Provinsi dengan masalah yang sama, rasio DPT aktual jauh dibawah rasio DPT yang wajar, terjadi berturut-turut di Riau yang hanya 56,5%, dari yang seharusnya hanya di kisaran 66,0%, Kepulauan Bangka Belitung (64,3% dari yang seharusnya 70,5%), Banten (63,8% dari yang seharusnya 70,0%) dan Yogyakarta (70,6% dari yang seharusnya 76,0%).

Dampak Suara

Ketidakwajaran DPT, baik terlalu tinggi atau terlalu rendah, akan berimplikasi pada perolehan suara paslon dalam pilpres. Paslon yang dominan di suatu wilayah yang DPT-nya terlalu tinggi, jelas akan diuntungkan. Sebaliknya, paslon yang dominan di suatu wilayah yang DPT-nya terlalu rendah, akan dirugikan.

Implikasi dari ketidakwajaran DPT adalah potensi perolehan suara. Wilayah yang terindikasi mengalami “inclusion error” berpotensi mengalami “penggelembungan suara”, sedangkan wilayah yang terindikasi mengalami “exclusion error” berpotensi mengalami “penggembosan suara”.

Provinsi dengan potensi “penggelembungan suara” terbesar berturut-turut adalah Jawa Tengah di kisaran 2,5 juta suara, Papua (1,3 juta suara) dan Jawa Timur (1,0 juta suara). Sebagai misal, Kabupaten Cilacap dengan rasio DPT aktual mencapai 86,7%, jauh diatas DPT wajar di kisaran 70,0%, berpotensi mengalami “penggelembungan suara” hingga 286 ribu suara.

Sedangkan provinsi dengan potensi “penggembosan suara” terbesar berturut-turut adalah Jawa Barat di kisaran 1,4 juta suara, Banten (783 ribu suara), Riau (647 ribu suara) dan Kepulauan Riau (322 ribu suara). Sebagai misal, Kabupaten Bogor dengan rasio DPT aktual hanya 59,7%, jauh dibawah DPT yang wajar di kisaran 66,0%, berpotensi mengalami “penggembosan suara” hingga 370 ribu suara.

Secara keseluruhan, dari indikasi “inclusion error” terdapat potensi “penggelembungan suara” hingga 5,6 juta suara. Sedangkan dari indikasi “exclusion error” terdapat potensi “penggembosan suara” hingga 4,5 juta suara.

Bila kita mengasumsikan “penggelembungan” dan “penggembosan” dialami kedua paslon secara proporsional, sesuai perolehan suara di wilayah tersebut, maka paslon 01 secara agregat diuntungkan hingga 1,9 juta suara (berpotensi bertambah 4,1 juta namun berpotensi berkurang -2,1 juta suara), sedangkan paslon 02 secara agregat dirugikan 868 ribu suara (berpotensi bertambah 1,5 juta suara namun berpotensi berkurang -2,4 juta suara). Dengan demikian, gugatan kecurangan DPT oleh paslon 02 adalah beralasan dan wajar. Namun tentu, semua analisis ini hanya sebatas menjelaskan “potensi” kecurangan DPT saja, sedangkan untuk pembuktian gugatan di MK dibutuhkan “bukti” kecurangan DPT yang kuat.

Lebih jauh, selisih 16,9 juta suara antara paslon 01 dan 02 secara jelas tidak bisa dibuktikan bila hanya berdasarkan dugaan kecurangan DPT saja. Andaipun kita menggunakan asumsi paling “konspiratif” dimana seluruh potensi “penggelembungan suara” hanya dinikmati paslon 01 dan seluruh potensi “penggembosan suara” hanya dialami paslon 02, maka potensi keuntungan agregat yang dinikmati paslon 01 adalah 10,2 juta suara. Selisih 16,9 juta suara tetap tidak akan bisa dibuktikan hanya semata dari dugaan kecurangan DPT saja.

Terlebih lagi bila kita juga memperhitungkan angka partisipasi pemilih pilpres 2019 yang secara umum di kisaran 80%, maka dampak suara dari “penggelembungan” dan “penggembosan” DPT ini akan lebih rendah lagi. Sebagai misal di Kabupaten Cilacap, dengan angka partisipasi pilpres hanya 71,4%, maka potensi “penggelembungan suara” di wilayah ini secara aktual hanya 204 ribu suara, alih-alih 286 ribu suara.