Menakar Nilai Ekonomi Haji dan Umrah

Menunggu selama 2 tahun karena Covid-19 serasa menunggu berabad tahun lamanya. Perasaan ini muncul di hati para calon jamaah haji dan umrah karena pemerintah Arab Saudi memberhentikan sementara dengan alasan pandemi. Sebelumnya pemerintah Indonesia mendapatkan kuota jamaah haji sekitar 200.000-an, dan diprediksi akan terus meningkat. Tiba-tiba anjlok karena pandemi, hanya penduduk Indonesia yang lama tinggal di Arab Saudi yang bisa menunaikannya. Begitupun dengan umrah, selama masa pandemi terjadi penghentian pemberangkatan sementara dengan alasan yang sama.

Bulan Dzulhijjah menawarkan dua ibadah utama kepada umat islam. Kedua ibadah ini menjanjikan pahala dan ganjaran besar yang kelak akan menjadi bekal nanti di akhirat. Kedua ibadah ini adalah haji dan kurban.

Akan tetapi, untuk memperoleh keutamaan kedua ibadah tersebut, tak sedikit uang yang harus dibelanjakan. Maka tak jarang jika kita sering mendengar bahwa Bulan Dzulhijjah sering dimaknai sebagai bulan berbelanja umat islam. Karena besarnya dana yang harus dikeluarkan, kedua ibadah ini juga memiliki dimensi ekonomi yang sangat kuat. Para calon jamaah haji terutama, rela menunggu antrian keberangkatan sambal menyiapkan semua perbekalan dan biaya untuk berangkat ke tanah suci, baik haji khusus atau pun reguler. Jika tidak mendapatkan antrian dalam jangka waktu dekat, alternative lainnya adalah ibadah umrah.

Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah merupakan daerah penyumbang terbesar jamaah haji dan umrah, atau sekitar hampir 70 persennya berasal dari Pulau Jawa. Hal ini dilatarbelakangi oleh tingkat keagamaan dan tingkat ekonomi masyarakat muslim.