Kedaulatan Pangan di Ujung Krisis Global

Menyusul dampak gelombang panas dan perubahan iklim terhadap produksi pangan di banyak negara, yang kemudian diperparah dengan perang Rusia – Ukraina, ketahanan pangan kini menjadi isu utama dunia, seiring kenaikan harga pangan global. Bahkan demi mengamankan pasokan pangan domestik, sejak awal tahun 2022 ini, puluhan negara telah melakukan kebijakan ekstrim dengan melarang ekspor pangan, mulai dari gandum, daging ayam, hingga produk holtikultura, termasuk pupuk. Bila diawal tahun hanya 3 negara yang melakukan politik proteksionisme pangan, jumlah itu kini melonjak mencapai 24 negara. Politik proteksionisme pangan internasional ini tidak hanya mengambil bentuk pelarangan ekspor pangan saja namun juga pengetatan perizinan ekspor pangan dan pajak atas ekspor pangan. Harga pangan di pasar global-pun kian melonjak. Potensi krisis pangan global membentang di depan.

 

Sejumlah komoditas pangan strategis mengalami kenaikan harga yang drastis dalam 6 bulan terakhir. Jagung dan gandum mengalami kenaikan harga hingga 30 persen, berturut-turut dari kisaran $ 265 dan $ 554 per ton pada Desember 2021, menjadi kisaran $ 345 dan $ 724 per ton pada Mei 2022. Gandum bahkan mengalami kenaikan harga hingga kisaran 40 persen, dari $ 377 per ton menjadi $ 522 per ton. Sedangkan beras “baru” mengalami kenaikan harga di kisaran 15 persen, dari $ 400 per ton menjadi $ 464 per ton.

 

Dihadapkan pada lonjakan harga pangan global dan politik proteksionisme pangan internasional, Indonesia memiliki resiko krisis pangan yang serius mengingat ketergantungan Indonesia pada pasar pangan global yang masih tinggi hingga kini. Pada 2021, Indonesia masih mengimpor sejumlah komoditas pangan strategis dalam jumlah signifikan bernilai puluhan US$ miliar antara lain beras 400 ribu ton, garam 2,8 juta ton, gula 5,5 juta ton, kedelai 2,5 juta ton, gandum 11,2 juta ton dan daging sapi 273 ribu ton.