Ekspor Nikel Dilarang, Tindakan Balasan Datang

TEMPO.CO, JENEWA – Keputusan pemerintah melarang ekspor bijih nikel dan kewajiban pengolahan di dalam negeri membuat Uni Eropa berang. Organisasi yang beranggotakan 27 negara tersebut merasa dirugikan karena kehilangan pasokan nikel untuk industri baja tahan karat. Tak terima dengan sikap Indonesia yang mengajukan banding atas putusan panel World Trade Organization (WTO), Uni Eropa membuat manuver baru.

Mulai 7 Juli hingga 1 September lalu, Komisi Uni Eropa melaksanakan konsultasi dengan para anggotanya untuk mempertimbangkan penerapan Enforcement Regulation terhadap Indonesia. Enforcement Regulation merupakan aturan yang memungkinkan Uni Eropa melakukan tindakan balasan atas pelanggaran aturan dagang oleh negara lain yang berdampak pada kepentingan anggotanya.

Situs web Uni Eropa menyebutkan, berdasarkan hasil konsultasi itu nantinya, Komisi Uni Eropa akan mengusulkan tindakan balasan pada musim gugur mendatang, yang berarti sekitar akhir September. Tindakan balasan tersebut bisa berupa pengenaan bea masuk atau pembatasan kuantitas impor dan ekspor barang.

Tidak Segampang Itu Melakukan Retaliasi

Pekerja saat memproduksi nikel sulfat di PT Halmahera Persada Lygend (PT HPL), Pulau Obi, Maluku Selatan, 17 Juni 2023. TEMPO/Subekti.

Deputi Wakil Tetap Perutusan Tetap RI di Jenewa, Dandy Satria Iswara, membenarkan bahwa Uni Eropa tengah melakukan konsultasi publik dengan negara-negara anggota dan pelaku usaha ihwal produk, nilai kerugian, bentuk retaliasi, dan nilai kompensasi yang akan dikenai pembatasan lewat Enforcement Regulation.

“Termasuk keputusan jadi atau tidaknya menerapkan ketentuan yang dimaksudkan,” kata Dandy kepada Tempo saat ditemui dalam perhelatan WTO Public Forum 2023, Jumat, 15 September 2023. Menurut dia, pemerintah Indonesia terus memonitor perkembangan proses konsultasi tersebut. Selain itu, Perutusan Tetap RI menjalin komunikasi informal dengan Perutusan Tetap Uni Eropa di Jenewa sembari menganalisis aturannya.

Dari sudut pandang aturan WTO, ia menimpali, retaliasi yang hendak dilakukan suatu negara harus didahului proses litigasi yang panjang. Pertama adalah litigasi di panel WTO, lalu litigasi banding dan litigasi kepatuhan. Setelah itu diikuti dengan komunikasi lanjutan. “Baru kalau itu semua belum menemukan kata sepakat, atau kedua pihak belum menemukan solusinya, satu pihak bisa melakukan retaliasi,” dia menjelaskan.

Rambu-rambu yang mengikat retaliasi tidak berhenti sampai di situ. Sebab, kedua negara yang bersengketa perlu membicarakan batasan retaliasi. Misalkan, satu pihak perlu menghitung kerugian yang ditimbulkan akibat tindakan perdagangan negara lain. Lalu, hitungan kerugian itu dianalisis kembali oleh pihak lawan.

Ia menegaskan, sengketa larangan ekspor nikel dengan Uni Eropa sejauh ini masih dalam proses litigasi di WTO. Setelah kalah di tingkat panel Dispute Settlement Body WTO, pemerintah pun menyampaikan dokumen banding kepada Appellate Body atau Badan Banding WTO, yang saat ini sedang vakum, pada 8 Desember 2022.

Menurut Dandy, bagi Indonesia, Badan Banding WTO adalah forum yang paling tepat dan sesuai dengan prosedur untuk menguji putusan panel WTO atas sengketa DS592 yang mengandung sejumlah kekeliruan. Masalahnya, Badan Banding sedang tidak berfungsi untuk mendengarkan dan menguji sengketa sejak Desember 2019 akibat Amerika Serikat memblokade seleksi anggota badan tersebut.

“Konsekuensinya, kasus sengketa bahan mentah Indonesia belum bisa dikaji hingga Badan Banding terbentuk kembali,” kata dia.

Dandy menambahkan, Indonesia bersama 129 anggota WTO telah mengusung proposal mengenai penunjukan anggota Badan Banding, mengingat Pasal 17.2 Dispute Settlement Understanding mewajibkan posisi anggota Badan Banding yang kosong harus segera diisi. Meski demikian, proposal tersebut juga diblok oleh Amerika Serikat.

Sejak hampir dua tahun lalu, Dandy menyampaikan, anggota WTO telah memulai proses diskusi reformasi penyelesaian sengketa yang dipicu oleh beberapa keluhan AS terhadap Badan Banding. Upaya ini diperkuat lagi dalam Ministerial Conference 12th Outcome Document yang menegaskan agar anggota WTO mengintensifkan diskusi untuk segera memulihkan sistem penyelesaian sengketa secara penuh pada 2024.

Berisiko Dikucilkan dalam Perdagangan Dunia

Pekerja tambang berada di dekat tumpukan nikel di kawasan Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Desa Lelilef, Kecamatan Weda, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara, 1 September 2023. ANTARA/Andri Saputra

Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas), Yusuf Wibisono, khawatir kekalahan Indonesia dalam panel WTO dan respons pemerintah yang melakukan upaya banding tidak menguntungkan dalam konstelasi ekonomi global. Alasannya, negara-negara di dunia kini sudah sangat bergantung satu sama lain.

Mengajukan permohonan banding kala Badan Banding WTO sedang vakum dapat pula dipandang sebagai tindakan mengabaikan putusan WTO. Berlanjutnya larangan ekspor nikel, kata Yusuf, berpotensi membuat Indonesia dikucilkan dari perdagangan dunia dan mendapat retaliasi dari Uni Eropa, yang merupakan mitra dagang utama Indonesia.

Salah satu bentuk retaliasi itu, ia mengklaim, sudah dirasakan ketika Uni Eropa pada Mei 2023 menerbitkan Undang-Undang Anti-Deforestasi yang melarang masuk produk dari kawasan hasil penggundulan hutan. Indonesia, sebagai eksportir utama ke Uni Eropa, otomatis paling terkena dampak aturan itu karena berpotensi mempengaruhi ekspor kopi, kakao, karet, dan kertas.

Andaikan Badan Banding WTO terbentuk pun, ujar Yusuf, peluang Indonesia untuk menang kecil karena argumen bagi pengembangan industri nasional telah ditolak. Argumen yang lebih dapat diterima dan berpotensi menang adalah alasan krisis pangan atau pelindungan lingkungan. “Namun argumen ini sulit digunakan karena pelarangan ekspor nikel kita justru membuat kerusakan lingkungan yang sangat masif di daerah sentra nikel.”

WTO Sarankan Indonesia Tidak Banding

Kepada Tempo, Deputi Direktur Jenderal WTO, Xiangchen Zhang, menyampaikan, ketimbang berkeras mengajukan permohonan banding kepada badan yang tengah vakum, Indonesia sebaiknya mengikuti putusan panel sengketa WTO dan mengubah kebijakan larangan ekspor nikel serta menggelar konsultasi dengan Uni Eropa. “Saya berpendapat Indonesia perlu menyesuaikan kebijakan ekonominya demi strategi jangka panjang,” kata Zhang.

Mantan Wakil Menteri Perdagangan Cina ini mengimbuhkan, Indonesia bisa mengikuti langkah Cina ketika menghadapi gugatan Amerika dalam kasus restriksi ekspor logam tanah jarang (rare earth) pada kurun waktu 2012-2014. Restriksi ekspor tersebut mencakup penerapan bea ekspor, kuota ekspor, dan pembatasan perusahaan yang diizinkan melakukan ekspor.

Dalam kasus tersebut, kata Zhang, yang juga pernah menjabat Duta Besar Cina untuk WTO, panel WTO menyatakan Cina melanggar ketentuan perdagangan internasional. Negeri Panda kemudian menaati putusan tersebut dan mengubah kebijakan ekspor tanah jarang sesuai dengan aturan main perdagangan. “Sekarang semuanya sudah stabil. Saya berpendapat Indonesia perlu melakukan proses yang sama.”

Zhang mengaku tidak menyarankan Indonesia mengajukan upaya banding, terlebih karena saat ini Appellate Body tidak berfungsi dan baru akan dibahas dalam pertemuan para menteri perdagangan atau Ministerial Conference ke-13 pada 26 Februari 2024. Indonesia, kata dia, juga tidak bergabung dengan The Multi-Party Interim Appeal Arbitration Arrangement (MPIA) sebagai lembaga banding sementara yang beranggotakan 47 anggota WTO.

“Indonesia tidak tergabung dalam MPIA sehingga sebenarnya tidak ada mekanisme banding yang bisa ditempuh,” ujar dia.

Sementara itu, Direktur Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada, Riza Noer Arfani, menyarankan pemerintah Indonesia agar menggunakan mekanisme MPIA untuk menyelesaikan sengketa dengan Uni Eropa. Meskipun lembaga arbitrase itu dinilai banyak dikendalikan oleh Uni Eropa, keikutsertaan Indonesia di dalamnya bisa menjadi pintu masuk untuk membuka dialog.

“Dalam jangka pendek, yang dipertaruhkan adalah hubungan Indonesia dengan Uni Eropa. Kalau retaliasi terjadi, juga kontraproduktif bagi kedua negara,” ujarnya.

Namun, supaya adil, menurut Riza, pemerintah Indonesia tidak bisa disalahkan begitu saja karena menutup ekspor nikel. Sebab, usaha mengundang investasi smelter dari negara-negara Uni Eropa sudah lama dilakukan, tapi tidak membuahkan hasil. Dengan demikian, ketika tawaran investasi dari negara lain datang, pemerintah mengambil langkah tegas dengan melarang ekspor bijih nikel.

“Indonesia sebenarnya tidak salah, tapi dalam konteks negosiasi yang dicari adalah titik tengah, bukan menang-kalah. Berbeda dengan mekanisme WTO yang menang-kalah,” ujar dia.

Sumber: https://koran.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/484477/ekspor-nikel-dilarang-retaliasi-datang