REPUBLIKA, JAKARTA — Masalah dampak perubahan iklim kembali menjadi pembahasan dunia pada Konferansı Tingkat Tinggi PBB tentang Perubahan Iklim (COP-28) di Dubai, Uni Emirat Arab. Salah satu yang menjadi isu adalah sulitnya realisasi komitmen negara-negara besar untuk memenuhi pembiayaan iklim di negara berkembang. Meski pemerintah negara-negara berkembang termasuk Indonesia masih menagih komitmen negara-negara maju untuk pembiayaan iklim, ada potensi dalam negeri yang notabene mayoritas berpenduduk Muslim ini untuk dimanfaatkan sebagai pembiayaan alternatif.
Indonesia dikenal merupakan negara dengan tingkat kedermawanan yang tinggi. Negeri ini bahkan menjadi negara terdermawan dalam World Giving Indeks selama enam tahun berturut-turut (2018 hingga 2023). Salah satu model kedermawanan yang punya potensi besar berbasis filantropi Islam dengan skema zakat, infak, sedekah hingga wakaf (ziswaf). Kementerian Agama mencatat, pada kuartal III 2022, dana zakat, infak dan sedekah yang berhasil dikumpulkan mencapai Rp 21 triliun. Sementara itu, wakaf uang yang berhasil dikumpulkan mencapai Rp 2,3 triliun.
Angka tersebut pun belum seberapa mengingat potensi dana ziswaf yang mencapai angka lebih dari Rp 400 triliun. Kemenag mencatat potensi dana zis senilai Rp 327 triliun setiap tahun. Sementara itu, Badan Wakaf Indonesia mengungkapkan, potensi wakaf tunai mencapai Rp 180 triliun.
Hanya saja, isu iklim dan lingkungan masih amat minim menjadi objek penyaluran dana filantropi tersebut. Ketua Umum Forum Zakat (Foz) Bambang Suherman mengatakan, pengelolaan dana zakat sejauh ini masih berfokus pada respons kebencanaan. Dia menjelaskan, pengelolaan dana zakat belum lebih fokus dialokasikan untuk aspek mitigasi. “(Pengelolaan dana zakat) terhadap aspek mitigasi ini masih sangat rendah dan lemah, apalagi kalau skematiknya menjadi adaptasi terhadap perubahan iklim,” kata Bambang saat dihubungi Republika, Kamis (7/12/2023).
Dia menjelaskan, saat ini mayoritas muzaki belum memilih untuk menitipkan pengelolaan zakatnya kepada filantropi dalam aspek mitigasi bencana atau isu-isu yang memiliki nilai solusi terhadap permasalahan lingkungan. Adaptasi perubahan iklim pun itu masih harus dihubungkan dengan potensi kebencanaan yang terjadi. Karena itu, dia mengungkapkan, alokasi dana zakat untuk dijadikan solusi terhadap dampak perubahan iklim selalu cenderung relatif kecil dan statis. Meski demikian, alokasi dana untuk merespons kejadian akibat bencana yang potensial menciptakan kemiskinan baru itu dinilai relatif cukup besar dan tumbuh di masing-masing lembaga.
Dia menjelaskan, pada dasarnya, para muzaki atau orang yang membayar zakat tidak memesan program-program apa apa yang harus dijalankan oleh lembaga filantropi Islam. Partisipasi mereka masih sebatas penyelesaian kewajiban atas harta yang mereka miliki berdasarkan tuntutan agama. Mereka pun menyerahkan sepenuhnya pengelolaan dana zakat di lembaga tersebut. “Jadi, meskipun bahkan ada kesadaran yang cukup bagus dari muzaki tentang pengelolaan iklim, mereka tidak bersifat muqayat atau mandatoris agar lembaga zakat menjalankan program tersebut,” kata dia.
Bambang menjelaskan, dalam persepektif terhadap dana zakat, infak, dan sedekah (ZIS) acuannya pada ketetapan asnaf. “Jadi, faktor miskin, fakir, dan lainnya ini menjadi faktor pendorong utama. Ketika kriteria asnaf ada di lapangan, prinsipnya pembiayaan-pembiayaan dari keuangan Islam dari ziswaf tentu saja bisa dilakukan,” ujar dia.
Biasanya, kata dia, konsep yang paling dasar itu adalah tentang kemiskinan. Kemiskinan ini dalam perspektif kemanusiaan dapat diartikan dengan putusnya akses bagi masyarakat dari sumber daya di sekelilingnya. Sementara untuk isu lingkungan, sebagiannya dianggap sebagai sumber daya. Saat sumber daya rusak, kata dia, potensi dari lingkungan bagi sumber daya kehidupan masyarakat itu juga hilang. Untuk itu, dia menilai, dalam perspektif mengembalikan ketersediaan sumber daya untuk mencegah dan mengurangi kemiskinan masyarakat, dana ZIS yang ada selama ini bisa digunakan untuk aspek tersebut.
“Nah, jadi skema intervensinya adalah mengembalikan potensi sumber daya di lapangan atau di alam. Bahwa itu terhubung langsung dengan isu iklim, dia bisa dianggap sebagai bagian dari kontribusi filantropi Islam terhadap solusi perubahan iklim di Indonesia,” kata Bambang.
Direktur Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono menjelaskan, tugas berat yang diemban lembaga filantropi akan sia-sia jika mengabaikan isu perubahan iklim. Menurut dia, partisipasi ziswaf dalam pembiayaan iklim selaras dan mendukung tugas utama ziswaf untuk penanggulangan kemiskinan. Terlebih, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia rentan dengan ancaman pemanasan global dan kenaikan permukaan air laut.
“Meski ziswaf di Indonesia dan dunia saat ini juga mengemban tugas berat untuk penanggulangan kemiskinan, tapi upaya itu akan berpotensi sia-sia jika mengabaikan isu perubahan iklim yang sudah kondisi darurat saat ini,” ujar dia kepada Republika, Rabu (6/12/2023).
Yusuf yang dikenal sebagai pakar zakat ini mengatakan, dunia gagal mencegah pemanasan global 1,5 derajat Celsius sesuai dengan apa yang disepakati dalam perjanjian Paris. Adanya kenaikan suhu 1,5 derajat Celsius membuat dunia akan mengalami penurunan produksi pangan yang signifikan karena kekeringan rata-rata akan mencapai dua bulan setiap tahun. Kebakaran hutan akan melonjak serta permukaan air laut akan naik sekitar satu meter.
Jika skenario suhu bumi mencapai 1,5 derajat Celsius terlewati bahkan hingga mencapai empat derajat Celsius hingga 2050, dunia akan menghadapi malapetaka berupa kekeringan ekstrem yang akan sangat sering terjadi. Sementara itu, produksi pertanian dan perikanan akan anjlok drastis sehingga akan mengakibatkan kelaparan global.
Kenaikan permukaan air laut hingga sembilan meter secara langsung mengancam kehidupan sekitar 13 ribu desa tepi laut di seluruh penjuru negeri, yang mengandalkan sektor tanaman pangan (padi), perkebunan, perikanan tangkap, perikanan budi daya, peternakan dan kehutanan sebagai sumber penghasilan utama bagi penduduknya.
Untuk memberikan prioritas yang lebih tinggi pada isu perubahan iklim dan pemanasan global ini, Yusuf mengusulkan agar salah satu kriteria mustahik adalah mereka yang terdampak perubahan iklim dan pemanasan global (yaitu masuk ke ashnaf fakir-miskin). Sementara itu, mereka yang berjuang melawan perubahan iklim dan pemanasan global (yaitu masuk ke ashnaf fi sabilillah). Dengan demikian, filantropi Islam dapat menunjukkan afirmasi yang lebih kuat ke isu perubahan iklim dan pemanasan global ini.
Dia menegaskan, ancaman kepunahan tanaman, hewan dan manusia adalah nyata dan tidak jauh di depan mata. Yusuf menyarankan agar program perlindungan lingkungan hidup yang sudah dijalankan oleh banyak lembaga filantropi Islam sejak lama semakin diperkuat dan difokuskan arahnya pada upaya pencegahan dan mitigasi perubahan iklim serta memperkuat sinergi dengan pemangku kepentingan lainnya.
“Saya melihat saat ini program lembaga filantropi Islam masih lebih banyak terfokus pada upaya ad-hoc jangka pendek menanggulangi masalah yang diakibatkan oleh perubahan iklim dan pemanasan global. Seperti menyediakan air bersih di daerah yang mengalami kekeringan atau membantu relokasi permukiman dari daerah yang telah tenggelam ke daerah baru yang jauh dari pesisir,” ujar dia.
Menurut Yusuf, para lembaga amil zakat sudah saatnya melakukan upaya pencegahan dan mitigasi perubahan iklim. Misal, dengan mencegah masyarakat dan dunia usaha menggunakan air tanah secara berlebihan, dan mendorong masyarakat agar lebih banyak menggunakan air bersih dari pengolahan air permukaan seperti air sungai, danau, dan air hujan.
Program prioritas yang penting diperkuat lembaga amil zakat terkait lingkungan hidup setidaknya terdiri dari empat klaster program. Pertama, upaya perintis untuk mendorong moda transportasi non-motorized sehingga akan menekan emisi karbon dari kendaraan bermotor. Contohnya, dengan mendukung program pembangunan pedestrian dan jalur sepeda hingga mendukung KRL sebagai moda transportasi massal yang handal dan terjangkau.
Kedua, upaya perintis untuk mendorong energi hijau untuk menekan penggunaan energi kotor berbasis fosil, terutama pembangkit listrik berbasis batu bara, seperti dengan mendukung pembangunan rumah atau gedung sekolah dan rumah sakit atau tempat ibadah yang hemat energi, berlimpah cahaya, tanpa pendingin ruangan (green building), hingga mendorong pembangunan pembangkit listrik skala kecil berbasis air kali atau sungai (tenaga mikrohidro).
Ketiga, upaya perintis untuk mendukung pelestarian pesisir dan mencegah hilangnya wilayah pantai, seperti dengan mendukung penanaman mangrove hingga mengolah air permukaan untuk air bersih sehingga mencegah penggunaan air tanah yang pada gilirannya akan menahan penurunan tanah (land subsidence). Terakhir, upaya perintis untuk menyelamatkan hutan, seperti dengan mendukung ketahanan ekonomi masyarakat sekitar hutan melalui program agro-forestry atau wisata hutan, mendukung 29 ribu desa yang kehidupan masyarakatnya sangat bergantung pada hutan antara lain dengan memanfaatkan perhutanan sosial, hingga mendukung masyarakat adat dalam menjaga dan mengelola hutan adat mereka.
Cendekiawan Muslim Prof KH. Didin Hafidhuddin menjelaskan bahwa sasaran pendistribusian dana zakat telah diatur dalam fikih. Yaitu terdapat delapan mustahil atau yang berhak menerima dana zakat. Hal ini sebagaimana tersurat dalam Alquran surah at-Taubah ayat 60.
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Artinya: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (QS at-Taubah ayat 60).
Menurut Didin Hafidhuddin penggunaan zakat untuk pendanaan atau pembiayaan program penanganan iklim dapat masuk kategori sabilillah, yaitu untuk jalan kebaikan. “Mungkin masuk kategori asnaf sabilillah, jalan kebaikan yang diperintahkan Allah, tapi harus memperhatikan skala prioritas,” kata mantan ketua Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) kepada Republika, pada Kamis (7/12/2023).
Untuk solusi pembiayaan program penanganan iklim, Didin juga berpendapat dapat diusahakan melalui infak, sedekah dan wakaf. “Saya berpendapat perlu diusahakan dana infak, sedekah, bahkan wakaf. Wakaf itu menjadi amal jariah yang akan terus mengalirkan pahala sepanjang masa. Ini wakaf kolektif atau wakaf jamai yg bisa dilakukan oleh lembaga umat dalam skala global dan internasional,” katanya.
Sumber :https://republika.id/posts/48650/saatnya-ziswaf-jadi-solusi-pembiayaan-iklim