Pertumbuhan Semu Ekonomi Jokowi

KORANTEMPO, JAKARTA – Selama hampir sepuluh tahun Presiden Joko Widodo memimpin, pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di kisaran 5 persen per tahun. Angka itu diklaim lebih baik dibanding di negara-negara peers atau setara. Pada kuartal III 2023, misalnya, perekonomian nasional meningkat menjadi 5,05 persen, lebih tinggi dibanding Malaysia yang sebesar 3,9 persen dan Thailand 2,5 persen.

Capaian itu mendapat pujian dari pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Dalam sebuah diskusi ekonomi pada Rabu lalu, Prabowo menawarkan janji pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen dengan menggunakan fondasi yang dibangun Jokowi. Sebagai perbandingan, pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dalam visi dan misinya menargetkan pertumbuhan 5,5-6,5 persen, sedangkan Ganjar Pranowo-Mahfud Md. 7 persen.

Sekilas, kinerja ekonomi Jokowi tampak mulus sebelum disandingkan dengan data lain. Pertumbuhan yang dicapai nyatanya tak mampu mengurangi angka kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan. Salah satu indikasinya tampak dari anggaran bantuan sosial yang bertambah setiap tahun. Pada 2024, anggaran perlindungan sosial naik Rp 20 triliun dibanding pada 2023 menjadi Rp 496 triliun, hanya sedikit di bawah anggaran perlindungan sosial pada masa puncak pandemi Covid-19 yang hampir Rp 500 triliun.

Tingkat pengangguran terbuka juga masih tinggi, yaitu sebesar 5,32 persen atau 7,86 juta orang per Agustus 2023. Tingkat serapan tenaga kerja pun terus turun, yang mengakibatkan jumlah pekerja informal per Agustus 2023 mencapai 59,11 persen dari total angkatan kerja. Belum lagi tanda-tanda deindustrialisasi yang kian nyata berupa penurunan kontribusi sektor manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB).

Mengabaikan Kelas Menengah

Selain itu, Teguh menilai dampak pembangunan dan perlindungan sosial pada era pemerintahan Jokowi hanya dirasakan oleh kelompok masyarakat 20 persen teratas dan 40 persen terbawah. Sementara itu, kelompok kelas menengah menjadi yang paling menderita dan terabaikan karena, meskipun tidak cukup kaya, tidak pula miskin, sehingga jauh dari bantuan sosial, subsidi, ataupun insentif pemerintah.

Padahal konsumsi kelompok masyarakat kelas menengah dan kelas atas berkontribusi masing-masing 36 persen dan 46 persen terhadap perekonomian. Sedangkan kontribusi konsumsi masyarakat berpenghasilan rendah atau penerima bantuan sosial dan subsidi terhadap konsumsi nasional hanya 18 persen.

“Hal ini menunjukkan banyak kebijakan pemerintahan Jokowi yang hanya menguntungkan sekelompok pihak, khususnya kelompok kaya yang dekat dengan pemerintah, dan abai terhadap kelompok menengah,” kata Teguh.

Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies Yusuf Wibisono mengatakan pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen krusial untuk menjadikan Indonesia negara maju. Tak mengherankan, Jokowi pada awal tampuk kepemimpinannya menargetkan pertumbuhan ekonomi dapat mencapai 7 persen per tahun.

“Namun kita melihat, dua periode pemerintahan Presiden Jokowi adalah dekade kutukan pertumbuhan 5 persen,” ucap Yusuf. Narasi dan gagasan besar pembangunan yang digaungkan terbukti gagal mentransformasi perekonomian dan mengakselerasi pertumbuhan.

Sejumlah pekerja menyelesaikan pembangunan gedung bertingkat di Jakarta, 21 September 2023. TEMPO/Tony Hartawan

Kesenjangan Melebar Pasca-Pandemi

Persoalan kesenjangan yang melebar tak bisa dianggap remeh. Jika melihat indikator simpanan masyarakat di perbankan dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), simpanan kelas atas terkaya dengan nominal di atas Rp 5 miliar selama periode September 2022-September 2023 tumbuh 7,25 persen. Sedangkan simpanan kelas bawah dan menengah dengan nominal di bawah Rp 100 juta hanya tumbuh 3,03 persen.

“Dari indikator itu, terlihat terjadinya fenomena ‘makan tabungan’ di kelas bawah dan menengah, sedangkan kelas atas tabungannya terus menggelembung,” kata Yusuf. Bahkan, pasca-pandemi Covid-19, kekayaan kelas atas meningkat jauh lebih cepat dibanding kelas bawah dan menengah. Hal ini mengindikasikan pemulihan ekonomi pasca-pandemi memiliki tendensi menciptakan kesenjangan yang lebih lebar.

Yusuf berujar, perbaikan struktural diperlukan untuk mengatasi persoalan yang sudah telanjur mengakar ini. Salah satunya dengan memperkuat kebijakan redistribusi pendapatan, baik melalui kebijakan fiskal maupun kebijakan upah minimum. Kegagalan reformasi perpajakan yang diindikasikan oleh angka rasio pajak yang stagnan di kisaran 10 persen dari PDB membuat redistribusi pendapatan dari kelas atas ke kelas bawah dan menengah menjadi lambat.

“Hal ini diperburuk oleh kebijakan upah minimum yang sangat konservatif di bawah Undang-Undang Cipta Kerja sehingga menekan daya beli kelas buruh,” ujarnya. Yusuf berpendapat, kebijakan pengupahan perlu direformasi untuk memungkinkan buruh menikmati kenaikan upah di atas tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

Sumber :https://koran.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/487044/pertumbuhan-semu-ekonomi-jokowi