KORANTEMPO, JAKARTA — Kesenjangan dan ketimpangan ekonomi selama berpuluh-puluh tahun masih menjadi persoalan utama Indonesia. Penguasaan ekonomi yang terkonsentrasi pada segelintir kalangan mulai tampak sepanjang era Orde Baru. Bahkan krisis moneter 1997-1998 tak juga mampu meruntuhkannya. Sejak era reformasi hingga saat ini, alih-alih memudar, penguasaan ekonomi oleh segelintir individu tetap terjadi.
Orang Kaya Makin Kaya
Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies Yusuf Wibisono mengatakan, dalam dua dekade terakhir, konsentrasi para pemilik modal semakin mengental di Indonesia. Berbagai indikator menunjukkan hal itu. Salah satunya indikator skala oligarki yang diukur dengan rerata kekayaan 40 orang terkaya. Jumlahnya telah meningkat hingga lebih dari tujuh kali lipat dalam dua windu terakhir. Bila pada 2006 skala oligarki hanya US$ 0,6 miliar atau setara dengan Rp 9,3 triliun (asumsi kurs rupiah 15 ribu per dolar Amerika Serikat), pada 2022 angka ini melonjak tajam menjadi US$ 4,3 miliar atau Rp 66,65 triliun. “Peningkatan konsentrasi kekayaan oligarki semakin ekstrem,” ucapnya kepada Tempo, kemarin.
Dalam ukuran lainnya, yaitu intensitas oligarki yang diukur dari rasio total kekayaan 40 orang terkaya terhadap produk domestik bruto (PDB), intensitas penguasaan kekayaan yang ekstrem oleh segelintir individu telah meningkat dua kali lipat dalam 16 tahun terakhir. Bila pada 2006 intensitas oligarki hanya 6,1 persen dari PDB, kini jumlahnya telah berlipat ganda menjadi 12,9 persen dari PDB pada 2022.
Menurut Yusuf, kesenjangan ekonomi Indonesia kian akut terhadap pengaruh oligarki yang terus membesar karena elite ekonomi mengarahkan kekayaan material yang berada di bawah kendalinya untuk mempertahankan dan mengokohkan kedudukan ekonomi serta sosialnya. “Penguasaan kekayaan material yang sangat masif oleh segelintir individu menciptakan keunggulan di ranah politik, termasuk dalam sistem demokrasi,” ujarnya.
Terlebih, pasca-kejatuhan rezim Orde Baru, oligarki tampak dengan cepat bermetamorfosis dari sistem otoriter ke sistem demokrasi, dengan politik uang dan jaringan patron baru, membentuk ulang mekanisme distribusi sumber daya dan rente ekonomi bersama kekuatan politik yang terfragmentasi. “Oligarki mengkooptasi demokrasi melalui politik uang dan pembentukan aliansi politik yang menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan bisnis.”
Yusuf mengatakan demokrasi seolah-olah menjadi arena pertarungan yang nyaman bagi oligarki untuk merebut kekuasaan dalam rangka memupuk kekayaan lebih lanjut. Transisi ke demokrasi sama sekali tidak memunculkan tantangan dari publik terhadap oligarki atas penguasaannya yang sangat dominan dalam perekonomian. “Hampir seluruh orang terkaya di Indonesia hari ini adalah orang terkaya di era Orde Baru, tidak ada yang berubah,” ucapnya.
Reformasi untuk memutus kekuatan kapital yang hari ini telah sangat mendominasi sistem demokrasi menjadi kian mendesak untuk dilakukan. “Caranya hanya satu, yaitu memutus ketergantungan partai politik dan pejabat publik pada oligarki,” kata Yusuf. Dengan demikian, demokrasi diharapkan dapat menghasilkan penyelenggara dan pembuat kebijakan yang sarat akan perubahan, berani memperjuangkan kebijakan prorakyat. Semakin kuat intervensi publik untuk menurunkan biaya politik akan semakin kecil peluang oligarki terlibat dalam kontestasi politik. “Hanya ketika sistem politik kita terbebas dari pengaruh oligarki, kita akan memiliki harapan akan lahirnya kebijakan untuk menurunkan kesenjangan ekonomi,” ucapnya.
Sumber :https://koran.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/487064/tersangkut-ketimpangan-ekonomi-akut