KORANTEMPO, JAKARTA – INDONESIA PUNYA beragam program bantuan sosial untuk masyarakat miskin. Sebut saja Program Keluarga Harapan (PKH), bantuan bahan pokok, Kartu Indonesia Pintar, bantuan iuran Jaminan Kesehatan Nasional, bantuan langsung tunai desa, dan subsidi energi.
Daftarnya makin mengular jika bantuan insidental pada beberapa tahun terakhir ikut dihitung. Seperti saat muncul pandemi, pemerintah memberikan bantuan sosial tunai serta beras 10 kilogram. Tahun lalu, muncul jenis bantuan baru: antisipasi dampak El Nino berupa bantuan tunai. Program ini berlanjut sampai 2024. Ditambah lagi, pemerintah memberikan bantuan beras 10 kg dengan dalih menekan dampak kenaikan harga beras.
Penerima bantuan juga makin banyak. PKH, misalnya, hanya memiliki 2,7 juta keluarga penerima hingga akhir periode kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2014. Empat tahun kemudian, jumlah penerima PKH berlipat menjadi 10 juta keluarga penerima dan tak berubah sampai sekarang. Jumlah penerima bantuan pangan nontunai, yang sekarang berganti nama menjadi bantuan bahan pokok, naik dari 15 juta keluarga menjadi 22 juta keluarga.
Itu sebabnya anggaran bantuan sosial melonjak signifikan, bahkan setelah pandemi usai. Pada akhir 2019, alokasinya sebesar Rp 112,5 triliun. Tapi tahun ini proyeksinya sebesar Rp 152,3 triliun.
Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono mengatakan bantuan sosial berpotensi membantu para penerima manfaat keluar dari kemiskinan. Tapi durasinya singkat. Setelah bantuan sosial habis, konsumsi masyarakat miskin kembali turun, jatuh kembali di bawah garis kemiskinan. “Bansos hanya obat pereda jangka pendek. Tidak akan bisa menyelesaikan masalah kemiskinan,” katanya kepada Tempo, kemarin.
Menurut dia, bantuan sosial seharusnya makin sedikit. Sebab, fungsinya hanya sebagai bantuan darurat untuk menguatkan daya beli dan meningkatkan konsumsi masyarakat miskin. Harapannya, mereka bisa memenuhi kebutuhan dasarnya. Setelah itu alokasinya dialihkan kepada masyarakat lain yang membutuhkan.
Warga beraktivitas di pemukiman padat semi permanen di kawasan Kuningan, Jakarta, 5 Maret 2024. TEMPO/Tony Hartawan
Dengan rentetan bantuan sosial pada era Presiden Joko Widodo, Yusuf menilai, arah kebijakan penanggulangan kemiskinan terfokus pada bantuan sosial. Padahal strategi ini berpotensi memperburuk kemiskinan lantaran menciptakan ketergantungan keluarga miskin. “Penanggulangan kemiskinan secara instan, dengan mengandalkan bansos, justru akan memelihara kemiskinan dalam jangka panjang.”
Menurut dia, penanggulangan kemiskinan seharusnya berfokus pada pemberdayaan ekonomi rakyat, khususnya di sektor pertanian. Tapi, dalam 10 tahun terakhir, petani gurem justru bertambah. Jumlahnya naik dari 14,25 juta rumah tangga pada 2013 menjadi 16,89 juta rumah tangga pada 2023. Ini contoh lemahnya upaya pemberdayaan ekonomi rakyat.
Di sisi lain, penciptaan lapangan kerja formal yang berkualitas makin terbatas. Pada dekade terakhir, daya saing industri padat karya melemah. Investasi yang masuk kini lebih banyak mengalir ke sektor ekstraktif, seperti penghiliran tambang yang padat modal dan minim menyerap tenaga kerja. Sementara pada 2013 setiap Rp 1 triliun investasi mampu menyerap 4.594 tenaga kerja, tahun lalu setiap Rp 1 triliun investasi hanya menyerap 1.081 pekerja.
Sumber :https://koran.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/487857/bansos-dan-kemiskinan