Berapa sebenarnya jumlah ideal BLT BBM bagi rakyat miskin?
Askar Muhammad
Peneliti dari Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas)
Subsidi atas komoditas yang dipandang penting bagi masyarakat miskin, terutama subsidi energi, selalu kontroversial dalam hal ketepatan sasarannya. Berlimpah bukti empiris yang menunjukkan bahwa subsidi bahan bakar minyak (BBM) lebih banyak dinikmati oleh kelas menengah-atas dibanding kelompok miskin. Bagaimana dengan bantuan langsung tunai (BLT) BBM sekarang?
Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada Maret 2021, kami menemukan hal serupa: subsidi BBM sangat tidak tepat sasaran. Kami memperkirakan hanya 19,5 persen pengguna BBM bersubsidi yang berasal dari 40 persen kelas terbawah. Sedangkan 45,8 persen berasal dari 40 persen kelas menengah dan 34,7 persen berasal dari 20 persen kelas teratas.
Dengan pengguna BBM bersubsidi yang tidak dibatasi, ketepatsasaran subsidi sangat sulit dilakukan, terlebih ketika disparitas harga BBM bersubsidi dan BBM non-subsidi lebar. Subsidi BBM telah mendorong penjualan kendaraan bermotor pribadi dan konsumsi BBM oleh rumah tangga kaya untuk kendaraan bermotor pribadi. Dengan dominasi kendaraan pribadi dalam sistem transportasi, BBM bersubsidi berkontribusi bagi kemacetan di banyak kota besar yang kini menuju kemacetan total (grid-lock), yang ironisnya direspons dengan pembangunan ruas jalan tol baru. Subsidi BBM secara jelas bertabrakan dengan upaya penghematan energi, pengembangan energi terbarukan, dan pengurangan emisi karbon.
Reformasi penghapusan subsidi BBM sering kali dieksekusi secara buruk. Menaikkan harga BBM di tengah tekanan harga domestik dan usaha rakyat yang baru pulih pasca-pandemi Covid-19, meski ruang fiskal masih memungkinkan alternatif lain dan politik anggaran non-mainstream belum pernah diupayakan secara serius, segera dipandang publik sebagai bentuk ketidakberpihakan yang nyata. Tidak mengherankan bila penolakan atas kebijakan ini sangat luas.
Penghapusan subsidi BBM juga berdampak negatif dalam jangka pendek, terutama jatuhnya daya beli kelompok miskin. Dampak langsung kenaikan harga BBM adalah kenaikan biaya transportasi (first round). Lebih jauh, ada tekanan pada harga-harga secara umum karena posisi BBM sebagai input produksi yang penting dan signifikan di hampir semua sektor perekonomian, terutama melalui biaya logistik (second round). Maka, beban kenaikan harga BBM adalah signifikan.
Arah kebijakan pemerintah sudah tepat dengan cepat menjalankan program kompensasi sebagai pengalihan subsidi BBM dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT) kepada 20,6 juta rumah tangga miskin dan bantuan subsidi upah (BSU) kepada 14,6 juta pekerja berupah rendah. Dengan menyasar sekitar 35 juta penerima bantuan sosial, pemerintah tampak berupaya melindungi 40 persen keluarga termiskin.
Meski demikian, kelompok terbesar terkena dampak kenaikan harga BBM tidak hanya kelas bawah, tapi juga kelas menengah. Pada 2021, kami memperkirakan terdapat 51,5 juta rumah tangga yang hanya memiliki sepeda motor. Sebagian besar kelas menengah-bawah sangat bergantung pada sepeda mot
or sebagai alat transportasi utama dan bahkan sebagai salah satu faktor produksi terpenting akan terkena dampak signifikan akibat kenaikan harga BBM. Karena itu, bantuan sosial dari pengalihan subsidi BBM ini seharusnya tidak hanya diberikan kepada 40 persen rumah tangga termiskin, tapi juga 60 persen rumah tangga termiskin, yaitu sekitar 45,3 juta rumah tangga. Pengeluaran tertinggi dari rumah tangga di kelas 60 persen terbawah ini adalah Rp 4,1 juta per bulan.
Menambah kuota penerima bantuan sosial ini menjadi krusial karena hingga kini ketepatan sasaran dari program bantuan masih jauh dari memuaskan. Pada 2021, dari 9,1 juta keluarga penerima Program Keluarga Harapan (PKH), hanya 52,5 persen di antaranya yang berasal dari kelas 40 persen termiskin. Adapun 13,9 juta keluarga penerima program bantuan pangan non-tunai (BPNT) hanya mencapai 56,8 persen kelas 40 persen terbawah.
Untuk mempertahankan tingkat konsumsi masyarakat tidak mampu dan rentan ini, besaran BLT idealnya setara dengan kenaikan harga barang-barang yang biasa dikonsumsi masyarakat yang menjadi sasaran. BLT dan BSU sebesar Rp 150 ribu per bulan atau total Rp 600 ribu untuk empat bulan (September-Desember 2022) tidaklah mencukupi.
Sebagian besar pengeluaran bulanan rumah tangga 60 persen terbawah dialokasikan untuk membeli pangan (58,9 persen). Pangan merupakan salah satu sektor yang terkena dampak signifikan akibat kenaikan harga BBM karena sektor ini membutuhkan logistik yang intensif. Lebih lanjut, besaran BLT juga harus dijangkar dengan tingkat konsumsi masyarakat saat ini.
Dengan menggunakan pengeluaran bulanan tertinggi dari rumah tangga di kelas 60 persen terendah sebagai tingkat konsumsi masyarakat saat ini, porsi pengeluaran untuk makanan dan indeks harga konsumen makanan pada Maret 2021 sebagai dasar perubahan harga, kami mendapatkan besaran BLT BBM ideal seharusnya berturut-turut adalah Rp 270 ribu, Rp 280 ribu, Rp 310 ribu, dan Rp 340 ribu selama September-Desember 2022. Dengan kata lain, total BLT yang seharusnya diberikan adalah Rp 1,2 juta untuk setiap keluarga miskin. Dengan skema ini, total anggaran yang dibutuhkan sebenarnya Rp 54,3 triliun.[]
Opini ini telah tayang di Koran Tempo Edisi 11 Oktober 2022 dengan judul “Berapa Jumlah Ideal BLT BBM Bagi Rakyat Miskin”, Klik untuk baca: https://koran.tempo.co/read/opini/477116/berapa-jumlah-ideal-blt-bbm-bagi-rakyat-miskin