JAKARTA – Rencana penyusunan peta jalan industri hasil tembakau (IHT) kembali dimunculkan melalui peraturan presiden yang tengah dirumuskan Kementerian Koordinator Perekonomian. Sebelumnya, roadmap dengan judul persis dicabut atas perintah Mahkamah Agung (MA) pada 2016.
Kala itu, MA menilai peta jalan yang berbentuk peraturan Menteri Perindustrian tersebut bertentangan dengan lima peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sehingga tidak sah atau tak berlaku secara umum. Kini pemerintah menghidupkan kembali rencana penerapan peta jalan itu dengan nakhoda yang sama: Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Perekonomian, yang sebelumnya menjabat Menteri Perindustrian.
Menyitir pernyataan resmi Kementerian Koordinator Perekonomian, peta jalan IHT akan kembali dibentuk setelah mendapat arahan dari Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas tentang kebijakan cukai hasil tembakau pada 2022 pada 13 Desember 2021. Jokowi, dalam rapat tersebut, mengamanatkan kepada Airlangga untuk menyusun peta jalan guna memberikan kepastian dan kejelasan ihwal arah kebijakan industri hasil tembakau.
Setelah adanya arahan tersebut, Kementerian Koordinator Perekonomian pun mengadakan diskusi kelompok terfokus untuk membahas setiap aspek peta jalan pengelolaan hasil tembakau. Aspek-aspek arah kebijakan yang dibahas, antara lain, adalah sisi hulu, industri, fiskal dan penerimaan negara, serta kesehatan.
Lima Lingkup Peta Jalan Tembakau
Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian, Putu Juli Ardika, mengatakan peta jalan tersebut masih dirumuskan. Dalam rancangan perpres tersebut, ia membeberkan, terdapat lima poin ruang lingkup, yakni pengembangan sektor pertanian tembakau, penyerapan tenaga kerja pada sektor produk hasil tembakau, pengaturan sektor industri hasil tembakau, pengendalian konsumsi produk tembakau, dan optimalisasi penerimaan cukai rokok.
Putu tak memungkiri bahwa, dalam pembentukan peta jalan tersebut, para pemangku kepentingan, yang terdiri atas kementeriannya, Kementerian Keuangan, Kementerian Pertanian, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Ketenagakerjaan, serta Kementerian Kesehatan, memiliki fokus dan poin perhatian berbeda.
“Hal utama yang kami perhatikan ialah arahan Presiden. Presiden clear mengatakan bagaimana semua pemangku kepentingan mencapai kesepakatan untuk memaksimalkan yang baik dan meminimalkan yang kurang baik,” ujar Putu dalam diskusi bersama media, Kamis, 27 Oktober lalu. Ia berharap ada keseimbangan dari empat pilar IHT, yakni industri, pertanian, tenaga kerja, dan kesehatan.
Petani memanen daun tembakau di Desa Tanjungwangi, Kecamatan Cicalengka, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 29 Mei 2022. TEMPO/Prima Mulia
Sependapat dengan Putu, Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Nirwala Dwi Heryanto, mengatakan pemerintah perlu menyeimbangkan banyak kepentingan dalam peta jalan IHT, khususnya pada skema cukai hasil tembakau.
“Kemenkeu tidak hanya bicara penerimaan. Dalam merumuskan kebijakan, kami juga selalu mengkonsultasikan kepada Kemenko dan dibawa ke ratas. Menteri Kesehatan akan memprotes kalau tidak diperhatikan di situ. Kementerian Pertanian dan Kementerian Perindustrian juga akan memprotes kalau (usulan mereka) tidak ditampung,” ujar dia.
Beda Kepentingan Setiap Kementerian
Berdasarkan 11 poin pokok substansi tujuan peta jalan yang termaktub dalam paparan yang disampaikan Putu, Tempo mencatat sepuluh poin yang membicarakan soal ekonomi industri, dari kesejahteraan petani, penyerapan tenaga kerja, perkuatan industri, ekspor tembakau, hingga cukai. Hanya satu poin tujuan peta jalan yang berorientasi pada kesehatan, yakni penurunan tingkat prevalensi merokok anak usia 10-18 tahun.
Hal ini diakui oleh Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kementerian Kesehatan, Eva Susanti. Ia mengatakan kementeriannya berkomitmen merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 untuk menurunkan prevalensi perokok anak sesuai dengan amanat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Sementara itu, roadmap IHT lebih bertujuan meningkatkan produksi rokok.
“Saya tahu Kemenperin harus meningkatkan industri lalu sisi penerimaan, juga sama melalui cukai. Tapi masalah kesehatan harus menjadi perhatian. Masalah ini urgen dan kita bisa lihat akibatnya,” ujar Eva.
Eva mengatakan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau ternyata belum cukup efektif menurunkan jumlah perokok anak. Padahal pemerintah menargetkan prevalensi perokok anak turun dari 9,1 persen saat ini menjadi 8,7 persen pada 2024. Tanpa pengendalian tembakau yang ketat, ia mengatakan, target pemerintah tidak akan tercapai. Bahkan prevalensi perokok anak bisa meningkat menjadi 16 persen pada 2030.
Masalah kesehatan itu pun diperkirakan berimbas pula pada perekonomian negara. Eva mengatakan, berdasarkan data pada 2017, biaya perawatan untuk penyakit akibat merokok tiga kali lebih tinggi daripada cukai yang diterima negara.
Berdasarkan catatan Kementerian Kesehatan, penerimaan negara dari cukai hasil tembakau pada 2017 hanya Rp 147,7 triliun, jauh di bawah kerugian ekonomi makro negara yang mencapai Rp 431,8 triliun atau berselisih Rp 284,1 triliun. “Jumlah itu bisa mendanai 18 provinsi untuk pembangunan jalan dan jembatan. Jadi, bisa dibayangkan kerugian ekonomi karena rokok,” kata Eva.
Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Abdillah Ahsan, menilai penggarapan kembali peta jalan IHT lebih mengarah ke tujuan mempromosikan kinerja industri rokok. Kenaikan kinerja industri rokok, menurut dia, secara otomatis akan mengorbankan kualitas kesehatan masyarakat.
“Dalam Undang-Undang Kesehatan sudah jelas bahwa tembakau adalah zat aditif yang konsumsinya harus dikendalikan, diturunkan. Sehingga perpres ini saya kira melanggar UU Kesehatan dan saya kira tidak boleh seperti itu,” ujar dia.
Peneliti dari Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas), Fajri Azhari, pun menyatakan bahwa peta jalan IHT menimbulkan kepentingan yang berlawanan antara tujuan ekonomi dan kesehatan. “Kondisi yang sama terjadi pada 2015, di mana Kemenperin menetapkan peraturan yang kemudian dicabut oleh Mahkamah Agung,” ucapnya.
Fajri mengatakan niat pemerintah yang ingin memenuhi semua harapan para pemangku kepentingan mustahil terwujud. Pasalnya, apabila poin utama IHK adalah menyatukan kepentingan industri yang berorientasi bisnis, sedangkan di sisi lain harus menurunkan prevalensi konsumsi rokok, hasilnya akan kerja kontraproduktif. “Ini menunjukkan ketidakjelasan tujuan pembangunan SDM yang berkualitas yang sedang dijalankan pemerintah,” kata Fajri.[]
Opini ini telah tayang di Koran Tempo Edisi 11 Oktober 2022 dengan judul “Target Bertentangan Peta Jalan Tembakau”, Klik untuk baca:https://koran.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/477594/mengapa-rancangan-peta-jalan-industri-hasil-tembakau-dinilai-kontradiktif