Pasca krisis harga komoditas dan pangan global 2007-2008, akuisisi lahan skala besar oleh investor global meningkat pesat, termasuk di Indonesia. Seiring kebangkitan resource-seeking foreign investment ini, jutaan hektar lahan hutan dan pertanian kini dikonversi menjadi ladang perkebunan dan pertambangan. Di penjuru negeri, perubahan radikal terjadi dalam penggunaan tanah seiring pemberian konsesi pengelolaan tanah skala besar (land grabbing) ke segelintir pemilik modal besar.
Ekspansi kapitalisme ekstraktif merupakan respon kapital ekstraktif dan negara pemilik sumber daya alam untuk menangkap “economic opportunities” dari lonjakan permintaan global terhadap komoditas primer, mulai dari minyak dan gas bumi, batu bara, logam dasar dan logam mulia, energi terbarukan, hingga produk pangan perkebunan. Dalam dua dekade terakhir, arus kapital global ke negara-negara berkembang telah berpindah dari investasi di industri pengolahan dan sektor jasa bernilai tambah tinggi, ke ekstraksi sumber daya alam, baik yang terbarukan maupun tidak terbarukan.
Menghadapi derasnya arus investasi ekstraktif global skala besar, Indonesia cenderung terus memfasilitasi akses investor global ke tanah dan buruh murah untuk perkebunan dan pertambangan besar, bahkan diatas kerugian rakyat yang kehilangan hak atas tanahnya. Struktur pertanian dibanyak daerah berubah ke arah sektor perkebunan dan pertambangan yang menghasilkan komoditas ekspor, dengan konsentrasi tanah yang semakin tinggi seiring spekulasi pembelian lahan.
Daerah-daerah kaya sumber daya alam di Indonesia sejak lama telah menunjukkan pola pembangunan berbasis ekstraksi sumber daya alam (resource-led development), dan semakin menguat dalam dekade terakhir. Sekitar 90 persen PDB sektor pertambangan nasional, disumbang oleh 100 daerah saja, dengan yang paling dominan adalah Kab. Kutai Kartanegara, Kab. Kutai Timur, Kab. Mimika dan Kab. Bengkalis. Peran sektor pertambangan sangat dominan bagi perekonomian kaya sumber daya alam ini, mencapai hingga 70 – 80 persen dari PDRB (Pendapatan Domestik Regional Bruto), seperti Kab. Sumbawa Barat, Kab. Paser dan Kab, Natuna.
Situasi lebih ekstrem dihadapi daerah kaya sumber daya alam dan lahan hutan yang luas, yang menghadapi kepungan kapital ekstraktif sekaligus dari dua arah: sebagai basis pertambangan sekaligus basis perkebunan, khususnya perkebunan kelapa sawit. Beberapa daerah kaya pertambangan di saat yang sama juga merupakan daerah utama perkebunan seperti Kab. Kutai Kartanegara, Kab, Bengkalis, Kab. Kutai Timur, Kab. Rokan Hilir, Kab. Kampar dan Kab. Siak. Pulau Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi menjadi surga bagi kapital ekstraktif skala besar.
Meningkatnya komersialisasi dan pengambilalihan tanah skala besar oleh korporasi tambang ini kerap menghasilkan konflik dan menciptakan tekanan yang semakin berat pada kesejahteraan masyarakat lokal yang menggantungkan dirinya pada tanah untuk ketahanan pangannya, kohesi sosialnya dan sumber penghidupannya. Dengan posisi tanah sebagai faktor produksi terpenting bagi kebanyakan rakyat, maka kebijakan pertanahan baik di sektor pertanian, perkebunan, kehutanan maupun pertambangan, menjadi krusial untuk kesejahteraan ekonomi dan keadilan sosial.