Tanpa hiruk pikuk yang berarti, DPR mensahkan UU No, 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat pada 27 Oktober 2011, menggantikan UU No.. 38/1999. Disahkannya UU ini berdampak luas pada dunia filantropi Islam nasional yang dalam tiga dekade terakhir menunjukkan perkembangan yang sangat menjanjikan.
Dibawah UU baru ini, rezim pengelolaan zakat nasional mengalami perubahan drastis dimana pemerintah melakukan sentralisasi pengelolaan zakat nasional melalui Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang didirikan dari tingkat pusat hingga kabupaten/kota dimana BAZNAS di setiap tingkatan dapat membentuk UPZ (Unit Pengumpul Zakat) hingga ke tingkat kelurahan. Di saat yang sama, partisipasi masyarakat sipil dalam pengelolaan zakat nasional melalui Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dalam rezim UU No. 38 Tahun 1999 diakomodasi secara luas, kini dimarjinalkan.
Kehadiran UU No. 23/2011 ini merupakan langkah mundur dan sangat berpotensi melemahkan dunia zakat nasional ke depan yang saat ini sangat ditopang oleh LAZ yang dikelola oleh masyarakat sipil. Dengan pengelolaan zakat secara profesional-modern berbasis prinsip manajemen dan tata kelola yang baik, zakat nasional mengalami kebangkitan di tangan LAZ. Melalui gerakan sadar zakat kepada publik secara luas, inisiatif pengelolaan zakat secara kolektif, dan pendayagunaan zakat secara produktif oleh LAZ, potensi zakat nasional mulai tergali dengan dampak yang semakin signifikan dan meluas.
Marjinalisasi Masyarakat Sipil
Marjinalisasi LAZ dalam UU No. 23/2011 sangat jelas dan eksplisit. UU mengamanatkan bahwa yang memiliki kewenangan atas pengelolaan zakat nasional hanya BAZNAS, sedangkan pendirian LAZ oleh masyarakat hanya sekedar membantu BAZNAS. Lebih jauh lagi, pendirian LAZ direstriksi secara ketat, dimana restriksi yang sangat krusial adalah keharusan LAZ didirikan oleh ormas Islam. LAZ yang sekarang sudah dikukuhkan memang tetap diakui dalam UU ini, namun maksimal dalam 5 tahun mereka diharuskan menyesuaikan diri dengan UU baru, artinya harus mengikuti persyaratan pendirian LAZ baru jika ingin pengukuhannya tidak dicabut oleh Menteri Agama. Pasal ini sangat potensial digunakan untuk melemahkan bahkan “membunuh” LAZ karena LAZ-LAZ besar saat ini tidak berafiliasi dengan ormas Islam.
UU No. 23/2011 juga menerapkan persyaratan pendirian LAZ harus mendapatkan rekomendasi dari BAZNAS. Padahal berdasarkan UU ini, BAZNAS juga menyandang status sebagai operator zakat nasional, status yang sama sebagaimana halnya dengan LAZ. Hal ini secara jelas menimbulkan conflict of interest: BAZNAS memiliki motif, insentif dan kewenangan untuk menjegal pendirian LAZ baru yang berpotensi menjadi pesaing-nya. Lebih jauh lagi, bagi LAZ yang tetap beroperasi tanpa izin, meski mendapat kepercayaan luas dari masyarakat, terancam dikriminalkan oleh UU ini yang melarang LAZ yang beroperasi tanpa izin dari pejabat yang berwenang dan memberi ancaman pidana penjara dan/atau pidana denda bagi LAZ illegal.
Seluruh hal diatas secara jelas kontraproduktif dengan upaya peningkatan kinerja zakat nasional, khususnya dalam upaya mengoptimalkan potensi dana filantropi Islam yang besar untuk penanggulangan kemiskinan. Kinerja penghimpunan dan pendayagunaan dana zakat lebih banyak ditentukan oleh legitimasi dan reputasi lembaga pengumpul, bukan oleh sentralisasi kelembagaan oleh pemerintah. Kinerja zakat nasional di Indonesia terbukti justru meningkat setelah dikelola oleh masyarakat sipil yang kredibel. UU No. 23/2011 ini berpotensi melanggar Pasal 28 C ayat (2) UUD 1945 dimana LAZ sebagai badan hukum publik memiliki hak untuk turut membangun masyarakat.
Superioritas Negara
Rezim baru zakat nasional juga memberi privilege secara luar biasa kepada BAZNAS. Ketika LAZ mendapat persyaratan pendirian yang ketat, hal yang sama tidak diterapkan kepada BAZNAS hanya karena ia adalah operator zakat bentukan pemerintah. Bahkan pendirian BAZNAS menjadi amanat UU. Ketika LAZ dihadapkan kepada disiplin pasar yang tinggi karena kelangsungan operasional-nya sepenuhnya bergantung pada zakat yang dihimpun, BAZNAS mendapat pembiayaan dari APBN dan APBD dan tetap berhak menggunakan zakat untuk operasional-nya, yaitu hak amil.
Meskipun UU menyatakan bahwa BAZNAS adalah lembaga pemerintah non struktural, namun pendirian BAZNAS secara jelas mengikuti struktur pemerintah dari tingkat pusat hingga kelurahan. Jika mengikuti amanat UU, maka ke depan selain BAZNAS di tingkat pusat maka akan terdapat 33 BAZNAS provinsi dan 502 BAZNAS kabupaten/kota. Jika BAZNAS di setiap tingkatan membentuk UPZ dengan mengikuti struktur pemerintahan, maka akan terdapat 6.636 UPZ tingkat kecamatan dan 76.155 UPZ kelurahan/desa.
Dengan konsep sentralisasi pengelolaan zakat versi Kemenag dengan BAZNAS yang didirikan mengikuti struktur administrasi pemerintahan, maka jumlah operator zakat menjadi sangat besar dan secara jelas mengindikasikan inefisiensi dunia zakat nasional terkait penghimpunan dana zakat yang relatif masih kecil. Pengelolaan zakat nasional menjadi tidak efisien karena mayoritas operator beroperasi pada skala usaha yang terlalu kecil. Pada tahun 2010, penghimpunan dana zakat BAZNAS, 33 BAZDA provinsi dan 447 BAZDA kabupaten/kota hanya mencapai Rp 865 miliar, atau secara rata-rata, masing-masing BAZ hanya mengelola dana kurang dari Rp 2 miliar per tahun.
Berbagai ketentuan diatas secara jelas bersifat diskriminatif dimana tidak terdapat kesetaraan perlakuan diantara sesama warga negara dihadapan hukum. Secara teknis-ekonomi, diskriminasi yang dilakukan UU No. 23 Tahun 2011 kepada LAZ dengan memberi berbagai privilege kepada BAZNAS sebagai operator zakat bentukan pemerintah, telah menciptakan level of playing field yang tidak sama antar sesama operator zakat nasional. Karena itulah maka UU No. 23/2011 ini juga berpotensi melanggar Pasal 28 D ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 dimana LAZ berhak atas perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Arah Reformasi ke Depan
Peran negara dalam pengelolaan zakat semestinya difokuskan pada perlindungan bagi warga negara yang membayar zakat dan mencegah penyalahgunaan dana zakat, serta mendorong praktek masyarakat sipil yang sudah berjalan baik dengan memfasilitasi sektor filantropi Islam untuk perubahan sosial dan memberi insentif bagi perkembangan dunia zakat nasional. Terlebih dengan kondisi birokrasi saat ini yang dipersepsi lemah dan korup, sentralisasi pengelolaan zakat nasional oleh UU No. 23/2011 jelas merupakan kebijakan yang tidak bijak.
Ke depan, rezim desentralisasi pengelolaan zakat sebagaimana diterapkan UU No. 38/1999 semestinya dipertahankan. Yang perlu diperkuat adalah tata kelola pengelolaan zakat nasional, yaitu dengan mendirikan otoritas zakat yang kuat dan kredibel, katakan Badan Zakat Indonesia (BZI), yang akan memiliki kewenangan regulasi dan pengawasan terhadap seluruh organisasi pengelola zakat (OPZ), baik BAZNAS maupun LAZ, di tiga aspek utama yaitu kepatuhan syariah, transparansi dan akuntabilitas keuangan, serta efektivitas ekonomi dari pendayagunaan dana zakat.
Ke depan, BZI harus memperkuat konsolidasi OPZ dengan memperketat pendirian OPZ baru, mendorong konsolidasi melalui merjer/akuisisi antar OPZ, serta penurunan status OPZ dengan kinerja rendah yaitu penghimpunan dana dibawah Rp 5 Milyar per tahun, menjadi UPZ. Lebih jauh lagi, BZI juga dapat mengarahkan OPZ untuk berspesialisasi. OPZ dengan penghimpunan dana diatas Rp 250 milyar per tahun sebagai OPZ nasional sekaligus OPZ jangkar, Rp 50-250 milyar sebagai OPZ fokus program pendayagunaan, dan dibawah Rp 50 milyar sebagai OPZ fokus wilayah.
Terakhir, perlu digagas kemitraan pemerintah – OPZ untuk akselerasi penanggulangan kemiskinan. Kemitraan dapat berupa pemberian hibah (block-grant) ataupun kontrak penyediaan jasa sosial (specific-grant). Pemerintah dapat menerapkan kriteria dan persyaratan (eligibility criteria) bagi OPZ penerima dana program penanggulangan kemiskinan, seperti transparansi finansial, efektivitas pendayagunaan dana dan kesesuaian dengan prioritas nasional/daerah.
Yusuf Wibisono, “Menggugat Rezim Baru Zakat”, Koran Tempo, 31 Mei 2012.