KORANTEMPO, JAKARTA – Angka backlog atau kesenjangan antara total hunian terbangun dan jumlah rumah yang dibutuhkan masyarakat di Indonesia tak menunjukkan penurunan signifikan. Merujuk pada data Badan Pusat Statistik, backlog perumahan pada 2010 tercatat 13,5 juta unit. Tiga belas tahun kemudian, angka tersebut hanya turun tipis ke level 12,7 juta unit, alias hanya susut 6 persen atau sekitar 800 ribu unit.
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perusahaan Real Estate Indonesia (REI) Joko Suranto mengungkapkan terdapat sejumlah faktor penyebab lambannya penurunan angka backlog di Indonesia. “Kendala utamanya adalah soal sulitnya perizinan yang diperlukan pengembang untuk membangun kompleks perumahan,” ujarnya kepada Tempo.
Faktor kedua adalah komitmen anggaran perumahan yang masih terbatas. Saat ini anggaran perumahan pada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) masih kurang dari 10 persen dari total anggaran kementerian yang nilainya pada 2023 mencapai Rp 154,36 triliun.
“Program perumahan yang kurang terencana dengan baik juga membuat biaya yang harus dikeluarkan pemerintah akibat lokasi perumahan yang jauh dengan pusat ekonomi menjadi lebih besar lagi. Diprediksi mencapai Rp 71,4 triliun atau setara dengan 2,2 juta liter BBM per hari,” kata Joko.
Pekerja tengah mengecek meteran listrik proyek pembangunan rumah KPR bersubsidi di kawasan Sukawangi, Bekasi, Jawa Barat, 6 Februari 2023. Tempo/Tony Hartawan
Tantangan lainnya adalah akumulasi dari tingginya angka kelahiran, besaran demografi penduduk Indonesia, dan probabilitas penduduk tinggal di perkotaan yang mencapai 66,6 persen pada 2035. Menurut Joko, untuk menurunkan angka backlog, pemerintah harus menciptakan ruang-ruang yang besar, terutama di perkotaan, untuk mengantisipasi tingginya urbanisasi. Walhasil, kebutuhan lahan untuk perumahan perkotaan semakin meningkat. “Dibutuhkan penataan ruang yang konsisten agar tidak terjadi lagi tumpang-tindih aturan.”
Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono berujar, dari angka backlog saat ini, ada sekitar 18 persen atau sekitar 67 juta rumah tangga yang belum memiliki rumah. Dengan jumlah yang besar itu, kata dia, target pemerintah untuk mencapai zero backlog berpotensi gagal jika tidak ada terobosan dan inovasi.
Upaya pembangunan rumah bersubsidi oleh pemerintah pun banyak yang tak terserap pasar. Jumlah backlog 12,7 juta unit rumah ini, menurut Yusuf, mayoritas berasal dari kelas terbawah dengan daya beli yang sangat rendah. Maka, pemberian skema kredit pemilikan rumah (KPR) sesederhana dan seringan apa pun penyerapannya tetap rendah. “Mereka akan selalu sulit dan tidak mampu mengakses pembiayaan perbankan.”
Yusuf berujar dibutuhkan perubahan fundamental untuk mendorong pembangunan perumahan rakyat yang masif untuk menekan angka backlog. “Pertama, sejak penggabungan Kementerian PUPR, pembangunan perumahan rakyat menjadi cenderung terabaikan, kalah oleh gemuruh pembangunan infrastruktur.” Alokasi anggaran untuk pembangunan perumahan rakyat pun selalu minimalis, termasuk untuk melakukan subsidi rumah murah yang hanya di kisaran 250 ribu unit.
Deretan rumah KPR Subsisdi di kawasan Tambun, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, 28 November 2023. Tempo/Tony Hartawan
Kedua, komitmen untuk penyediaan tanah dan menghapus biaya tinggi dalam pembangunan rumah rakyat, terutama di daerah perkotaan, yang memiliki lahan terbatas. Ketiga, komitmen meminimalkan biaya produksi dan harga jual rumah rakyat juga harus diikuti dengan komitmen peningkatan daya beli masyarakat. “Maka kebijakan subsidi, pembebasan PPN, serta kemudahan akses pembiayaan perbankan menjadi krusial di sini,” kata Yusuf. Terakhir adalah revitalisasi BUMN untuk mengakselerasi pembangunan perumahan rakyat, terutama Perumnas.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur dan Perumahan Kementerian PUPR Herry Trisaputra Zuna mengatakan, jika backlog 12,7 juta rumah ingin dihapus pada 2045, tambahan pasokan rumah baru diproyeksikan harus mencapai 1,5 juta unit per tahun. “Pemerintah menjalankan berbagai program untuk menekan angka backlog dan menyiapkan Rp 19,83 triliun pada 2024 untuk bantuan pembiayaan perumahan,” ujarnya.
Jumlah itu dibagi kepada program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) sebesar Rp 13,72 triliun untuk pembiayaan 166 ribu unit rumah baru; Rp 0,68 triliun untuk subsidi bantuan uang muka 166 ribu unit rumah; Rp 4,6 triliun untuk pemberian subsidi selisih suku bunga untuk 751.735 unit rumah; dan Rp 0,83 triliun disalurkan melalui Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) untuk 7.251 unit rumah.
Targetnya, pada tahun ini anggaran FLPP dapat berkontribusi menurunkan backlog perumahan sebesar 1,3 persen dari angka total. “Ini merupakan pekerjaan yang tidak mudah dan menjadi tanggung jawab bersama, salah satunya adalah menyusun skema pembiayaan, berkolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk sektor swasta,” kata Herry.
Sumber :https://koran.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/486603/mengapa-backlog-perumahan-masih-tinggi