KORANTEMPO, JAKARTA — Sejumlah pegiat demokrasi dan transparansi anggaran menilai bantuan sosial (bansos) berpotensi digunakan untuk mendongkrak suara dalam pemilihan umum. Indikasi tersebut terlihat ketika pemerintah memutuskan pemberian bantuan pangan ataupun bantuan langsung tunai (BLT) selama masa Pemilu 2024.
Peneliti dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Gurnadi Ridwan mengatakan pemerintah sangat mungkin menyalahgunakan pemberian BLT saat pemilu. “Cara ini bisa dipakai penguasa sebagai alat untuk dipertukarkan dengan loyalitas elektoral,” katanya saat dihubungi pada Selasa, 30 Januari 2024.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo memutuskan memperpanjang bantuan pangan berupa pemberian beras sebanyak 10 kilogram per keluarga per bulan hingga Juni 2024. Di samping bantuan pangan, pemerintah akan mengguyurkan BLT Mitigasi Risiko Pangan sebesar Rp 600 ribu per bulan kepada 18,8 juta keluarga penerima manfaat. BLT tersebut akan dicairkan pada Februari 2024.
Program BLT baru itu dipaparkan oleh Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto dalam konferensi pers hasil pertemuan Tim Pengendalian Inflasi Pusat, Senin, 29 Januari lalu. Menurut Airlangga, bantuan tersebut akan dievaluasi setelah tiga bulan. “Program ini menggantikan BLT El Nino yang diberikan pada akhir 2023 selama dua bulan senilai total Rp 400 ribu,” ujarnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah akan mencairkan BLT Mitigasi Risiko Pangan pada Februari 2024 melalui PT Pos Indonesia dan Badan Pangan Nasional.
Warga menata paket bantuan sosial beras 10 kilogram di gudang Perum Bulog, Jakarta, 11 September 2023. TEMPO/Tony Hartawan
Menanggapi BLT baru ini, Gurnadi mengaku heran karena BLT diberikan pada Februari dengan sistem rapel. Menurut dia, di satu sisi cara ini bisa memberikan manfaat besar bagi penerima. Tapi di sisi lain menjadi indikasi bahwa bansos dijadikan alat untuk meningkatkan elektoral. “Pemberian bansos pada Februari tidak ada urgensinya secara substansi,” katanya.
Menurut Gurnadi, tidak masalah jika pemerintah dapat menjelaskan faktor-faktor yang mendorong pembagian BLT itu. “Namun, mencermati dinamika kontestasi politik saat ini, ada kecenderungan sumber daya yang ada, seperti bansos, dijadikan alat untuk mendulang suara,” ujarnya. Dia menuturkan, bantuan tunai yang dikucurkan saat pemilu dapat mempengaruhi penerima manfaat dalam memilih.
Studi di Berbagai Negara
Warga memegang kartu Auxílio Brasil (Bolsa Família). Rafael Henrique/SOPA Images/Sipa USA via Reuters
Sejumlah penelitian juga mengaitkan dampak program bantuan tunai dengan partisipasi pemilih. Hasil studi di beberapa negara Amerika Latin menunjukkan adanya pengaruh pemberian bantuan pada peningkatan suara, khususnya dari penerima manfaat.
Penelitian berjudul Incorporating Marginal Citizens and Voters yang diterbitkan dalam International Journal Sage menyebutkan bahwa pemberian bantuan sosial oleh inkumben terbukti berhasil menarik dukungan dari penerima manfaat. Program bantuan sosial di Uruguay, contohnya, sukses meningkatkan dukungan kepada inkumben. Hal serupa terjadi di Meksiko lewat program bantuan sosial Progresa.
Begitu pula dengan program bantuan sosial Familias en Acción di Kolombia yang menaikkan suara calon presiden selama Pemilu 2010. Para peneliti menemukan para pemilih yang menerima manfaat bantuan sosial memberikan suara dan menunjukkan preferensi dukungan kepada calon presiden yang didukung inkumben.
Peningkatan suara dan partisipasi pemilih berkat bantuan sosial juga terjadi di Brasil lewat program Bolsa Família. Ini merupakan program sosial andalan Presiden Lula Da Silva dan diyakini berperan dalam membantunya memenangi pemilhan presiden Brasil pada 2006.
Gurnadi menyatakan penyelenggara negara seharusnya menghindari benturan kepentingan serta tidak menyalahgunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pelayanan publik. “Aturan itu tertera dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang berlaku untuk presiden, menteri, gubernur, dan bupati/wali kota,” ucapnya.
Kebijakan yang Dipaksakan
Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono berpendapat pemberian bantuan tunai 2023-2024 merupakan kebijakan yang dipaksakan karena direncanakan dan dieksekusi dalam waktu yang sangat singkat. “Presiden terlihat sedang mengejar ambisi politik jangka pendek melalui gelontoran bansos ad hoc tiada henti sejak tahun lalu hingga kini menjelang pilpres.”
Saat mengumumkan pemberian BLT, pemerintah beralasan terdapat potensi pelemahan daya beli masyarakat, yang menghabiskan sekitar 60 persen pengeluarannya untuk pangan. Namun, menurut Yusuf, risiko ini sudah relatif tertanggulangi oleh bansos reguler, seperti Program Keluarga Harapan, Bantuan Pangan Non-Tunai, Kartu Indonesia Pintar, serta BLT Desa.
Di samping itu, sepanjang 2023 pemerintah sudah menggulirkan berbagai program bansos tambahan, seperti bansos beras pada periode April-Desember 2023 dan BLT El Nino pada periode November-Desember 2023.
Yusuf mengatakan, di tengah perekonomian yang diklaim semakin baik, cakupan pemberian bansos seharusnya semakin kecil. “Prinsip dasar bansos adalah bersifat temporer dan akan dihentikan atau direalokasi ke penerima baru ketika penerima lama tidak lagi membutuhkan,” ucapnya. BLT yang dikeluarkan pada tahun ini juga menaikkan anggaran bantuan sosial. Dengan adanya BLT Mitigasi Risiko Pangan, anggaran belanja bansos 2024 akan bertambah Rp 11,25 triliun.
Deputi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Perekonomian Ferry Irawan membantah adanya politisasi bansos. Ia memastikan program bansos reguler ataupun nonreguler merupakan bentuk dukungan pemerintah kepada masyarakat, terutama masyarakat miskin dan rentan, dalam menghadapi berbagai guncangan ekonomi.
“Di tengah ketidakpastian global dan domestik, yang berdampak meningkatnya harga pangan, adanya pemberian bantuan pangan beras dan BLT El Nino berhasil menahan kenaikan harga beras, terutama pada momen-momen hari besar keagamaan nasional 2023,” ujarnya.
Sumber :https://koran.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/487001/efek-blt-terhadap-suara-pemilu-2024