Debat Keadilan Subsidi BBM

Pencabutan subsidi bahan bakar minyak kembali menuai penolakan publik secara keras. Secara ekonomi, subsidi bukanlah sesuatu yang tabu. Yang menjadi isu adalah bagaimana desain subsidi agar efektif dan tepat sasaran. Desain subsidi terbaik adalah subsidi yang diarahkan dan tepat diterima oleh mereka yang berhak (targeted subsidy). Namun permasalahan terbesar targeted subsidy adalah, implementasi program membutuhkan basis data yang akurat, by name by address, dan selalu diperbarui secara berkala. Tanpa basis data yang kuat, subsidi akan menghadapi masalah kebocoran yang masif.

Penargetan subsidi BBM agar tepat sasaran sulit dilakukan. Sebab, adanya kemudahan transportasi dan distribusi membuat pengalihan penggunaan dan penjualan di pasar gelap hampir tidak mungkin dihalangi. Terlebih lagi dengan wilayah geografis Indonesia yang sangat luas dan terdiri atas kepulauan yang dipisahkan oleh lautan. Subsidi BBM semakin tidak tepat sasaran ketika disparitas harga antara BBM bersubsidi dan BBM non-subsidi semakin lebar. Ketidaktepatan sasaran subsidi BBM juga terjadi dalam dimensi regional di mana sekitar 60 persen BBM bersubsidi habis di Jawa-Bali saja.

Dalam konteks inilah, subsidi terhadap barang dan jasa yang hanya dikonsumsi masyarakat miskin (self-targeted subsidy program), seperti beras untuk rakyat miskin (raskin), bantuan operasional untuk puskesmas dan sekolah, hingga subsidi kereta api kelas ekonomi, menjadi menjanjikan karena diyakini jauh lebih tepat sasaran dan terhindar dari masalah targeting.

Karena itu, terlepas dari defisit APBN dan minimnya ruang fiskal, subsidi BBM sudah selayaknya dicabut. Jika subsidi BBM berlanjut, berbagai distorsi dalam perekonomian akan semakin kuat, terutama semakin tidak terkendalinya alokasi anggaran subsidi BBM karena permintaan yang semakin tinggi, khususnya dari kendaraan bermotor pribadi. Subsidi BBM didominasi oleh bensin Premium dan solar, yang 97 persen dan 85 persen distribusinya disalurkan melalui SPBU, yang konsumennya sebagian besar adalah kendaraan bermotor pribadi. Kemacetan di berbagai kota besar akan semakin meningkat menuju kemacetan total (grid-lock).

Dengan demikian, manfaat terdekat dari menghentikan subsidi BBM adalah struktur APBN yang lebih sehat, sehingga belanja untuk sektor yang lebih penting dapat ditingkatkan. Seluruh inefisiensi perekonomian yang terkait dengan BBM juga dapat ditekan, seperti lonjakan penjualan kendaraan bermotor pribadi dan penambahan ruas jalan tol. Dengan konsumsi BBM yang lebih sehat karena tidak lagi terdistorsi oleh subsidi, tekanan terhadap impor BBM akan menurun, neraca pembayaran luar negeri lebih sehat, dan nilai tukar lebih stabil.

Meski pencabutan subsidi BBM memiliki banyak rasionalitas, dampak negatif kebijakan ini tidak bisa diremehkan dan harus diminimalkan dengan berbagai affirmative policy dan program kompensasi. Dampak terbesar adalah kenaikan harga secara umum karena posisi BBM sebagai input produksi yang penting dan signifikan di semua sektor perekonomian. Ketika inflasi tidak dapat dihindarkan, daya beli masyarakat tergerus, sehingga berpotensi melonjakkan angka kemiskinan. Kenaikan biaya produksi juga berpeluang menyebabkan naiknya harga barang dan turunnya daya saing sehingga memicu kebangkrutan atau relokasi industri sehingga angka pengangguran meningkat. Kombinasi kemiskinan dengan pengangguran berpotensi memicu kerawanan sosial.

Meski timing pencabutan subsidi ini sudah cukup tepat, di saat secara historis inflasi rendah dan di periode honeymoon, sayangnya kita tidak melihat pentahapan dalam pencabutan subsidi BBM. Di sisi lain, pemberian kompensasi bagi pihak yang akan terkena beban paling besar dari pencabutan subsidi BBM ini tidak dipersiapkan secara memadai.

Lebih jauh lagi, ketika subsidi BBM dicabut, kita juga tidak melihat dana hasil penghematan subsidi BBM digunakan untuk affirmative policy seperti membangun sarana transportasi massal yang dapat dirasakan hasilnya dalam waktu cepat dan dalam cara yang berkeadilan, yaitu pembangunan bus rapid transport (BRT) dan kereta api, khususnya untuk daerah perkotaan di Jawa dan Sumatera, bukan justru memacu jalan tol.

Pada saat yang sama, sebagian dana hasil penghematan subsidi BBM digunakan untuk program kompensasi untuk “tiga kartu sakti” yang substansinya adalah cash transfer. Meski dibutuhkan oleh kelompok miskin yang paling rentan dan tidak mampu bekerja, program “bagi-bagi uang” seperti ini diyakini tidak efektif karena sangat mudah disalahgunakan untuk kepentingan politik, tingkat salah sasaran yang tinggi, rawan korupsi, dan menimbulkan dampak negatif terhadap modal sosial (social capital) masyarakat.

Jika kemudian penolakan terhadap kebijakan ini begitu keras, memang sebaiknya pemerintah lebih banyak berkaca daripada menuding, terlebih ketika Kabinet Kerja memang belum bekerja. *

 

Yusuf Wibisono, “Debat Keadilan Subsidi BBM”, Koran Tempo, 24 November 2014