Sejak awal pandemi, Indonesia rentan dengan serangan virus. Fokus kebijakan yang bertumpu pada stabilitas dan pemulihan ekonomi, membuat pemerintah terus mendorong mobilitas dan aktivitas masyarakat meski pandemi jauh dari tertanggulangi. Demi kinerja tinggi ekonomi, adopsi new normal terus dipaksakan di tengah 3T (testing, tracing, treatment) oleh pemerintah yang tak kunjung serius dilakukan dan 3M (memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak) oleh masyarakat yang terus melemah. Dan sampailah kita disini: serangan gelombang ke-2.
Dengan memilih fokus ekonomi dibandingkan kesehatan, besarnya korban jiwa akibat pandemi telah diprediksikan sejak awal, implikasi tak terhindarkan dari pilihan kebijakan. Kematian demi kematian selalu menemani di setiap episode pandemi negeri ini, dengan kecenderungan yang semakin mengkhawatirkan. Pada Maret – November 2020, rata-rata kematian adalah 62 kasus per hari. Pada Desember 2020 – Mei 2021, angka ini naik tiga kali lipat menjadi 185 kasus per hari. Dan pada Juni – Juli 2021, di puncak gelombang ke-2, angka kematian meroket empat kali lipat menjadi rata-rata 714 kasus per hari.
Serangan virus varian delta merebak di Indonesia sejak Juni 2021 dan berpuncak pada Juli 2021. Gelombang ke-2 menjadi kisah kelabu yang membuka tabir gelap: betapa ringkihnya negeri ini melawan pandemi. Hanya di bulan Juli 2021 saja, terjadi 1,2 juta kasus positif dengan 35 ribu kematian! Sistem kesehatan nyaris lumpuh, rumah sakit penuh sesak hingga ke lorong dan parkiran, obat dan oksigen sulit didapat, tenaga kesehatan bertumbangan, hingga ambulans antri di pemakaman. Di Juli 2021, rata-rata kasus aktif mencapai 450 ribu, tiga kali lipat dari puncak gelombang ke-1, dan rata-rata BOR (bed occupancy ratio) mencapai 73,8 persen. Angka kematian rata-rata diatas 1.100 kasus per hari!