Kebijakan moneter ketat yang ditandai dengan kenaikan suku bunga acuan secara agresif di berbagai negara untuk melawan inflasi, telah membawa perekonomian global pada kondisi stagflasi: inflasi tinggi yang disertai stagnasi perekonomian. Dengan ketidakpastian sisi pasokan yang membuat inflasi bertahan lama, dunia kini terperosok pada resesi yang semakin terlihat jelas di depan. Tahun baru, krisis baru: reflasi.
Krisis dan lonjakan kemiskinan menjadi dua hal yang sulit dihindari tahun depan. Sebagaimana pandemi 2020 telah melonjakkan permasalahan kemiskinan, tidak hanya kelas sosial-ekonomi bawah namun juga kelas menengah, maka resesi global 2023 berpotensi besar tidak hanya membuat akan kelas bawah terus terjebak dalam kemiskinan, namun juga akan membuat banyak kelas menengah semakin rentan jatuh ke jurang kemiskinan.
Resesi global ke depan akan mengancam kinerja penanggulangan kemiskinan pasca pandemi yang kini telah mendekati level pra-pandemi, 9,22 persen pada September 2019. Meski mengalami badai serangan virus varian delta pada Juni – Juli 2021, namun angka kemiskinan September 2021 secara meyakinkan kembali ke tingkat 1 digit, yaitu 9,71 persen, dan pada Maret 2022 telah berada di 9,54 persen meski diterpa serangan varian omicron pada Januari 2022. Angka kemiskinan September 2022 diyakini akan semakin menyokong target angka kemiskinan 2022 di tingkat 8,5 – 9,0 persen.
Kemiskinan di Indonesia didominasi oleh penduduk miskin temporer (transient poor), yaitu mampu keluar dari kemiskinan namun mudah kembali jatuh miskin. Dari data longitudinal Susenas Maret – September 2020, kami memperkirakan penduduk miskin temporer ini berjumlah 21,6 juta jiwa, dimana 12,2 juta jiwa berada di Jawa dan 9,4 juta jiwa di luar Jawa.