Mimpi Zonasi, Rendah Prestasi

Kebijakan sistem zonasi dalam PPDB (Pendaftaran Peserta Didik Baru) sekolah negeri yang diterapkan sejak tahun 2017, masih terus menuai ketidakpuasan hingga kini. Dengan sistem zonasi, sekolah negeri wajib menerima calon peserta didik dengan domisi terdekat dari sekolah.

 

Dalam desain awal, alokasi jalur zonasi minimal 90 persen dari kuota penerimaan siswa baru, 5 persen jalur prestasi dan 5 persen jalur perpindahan domisili orang tua/wali. Pada tahun 2018 skema ini diubah dimana alokasi jalur zonasi diturunkan menjadi minimal 80 persen, jalur prestasi meningkat hingga 15 persen dan jalur perpindahan domisili orang tua/wali 5 persen. Seiring keluhan publik dan kekisruhan yang muncul di lapangan, skema ini kembali diubah pada tahun 2019 dimana alokasi jalur zonasi diturunkan kembali menjadi minimal 50 persen, jalur afirmasi minimal 15 persen, jalur prestasi hingga 30 persen dan jalur perpindahan domisili orang tua/wali 5 persen.

 

Sistem zonasi dalam PPDB mendapatkan penentangan yang luas dan banyak menimbulkan kekisruhan. Dengan sistem yang sangat berbeda dari sistem yang selama ini telah berjalan dengan baik, yang berbasis capaian prestasi akademik, adopsi sistem zonasi telah banyak merugikan hak-hak peserta didik. Sebaran geografis sekolah negeri yang tidak merata merugikan calon siswa dengan domisili yang jauh dari lokasi sekolah negeri. Sebaran geografis sekolah yang tidak merata membuat sebagian sekolah dibanjiri pendaftar, sedangkan sebagian sekolah lain justru sepi peminat. Pada 2019 tercatat 580 kecamatan di seluruh Indonesia belum memiliki SMA negeri.

 

Hingga kini, kapasitas negara dalam menyediakan pendidikan adalah terbatas, terutama di tingkat SLTA, yaitu SMA, SMK dan MA. Bahkan dengan menyertakan seluruh sekolah negeri dan swasta sekalipun, kapasitas sekolah masih jauh dari mencukupi. Pada 2021, penduduk berusia 15 – 19 tahun berjulah 22,2 juta orang. Namun di saat yang sama, kapasitas seluruh SMA, SMK dan MA, baik negeri maupun swasta, hanya 11,7 juta siswa. Dengan kata lain, menerapkan sistem zonasi di kala kapasitas sekolah negeri masih sangat jauh dari memadai, adalah kebijakan yang prematur dan diskriminatif bagi siswa yang berdomisili jauh dari sekolah negeri.

 

Bahkan di DKI Jakarta, daerah dengan infrastruktur pendidikan terbaik, sebaran sekolah adalah sangat timpang, tidak hanya sekolah negeri bahkan juga sekolah swasta. Kecamatan Kepulauan Seribu Utara hanya memiliki 1 SLTA negeri dan tidak memiliki satu-pun SLTA swasta. Sedangkan Kecamatan Duren Sawit memiliki 11 SLTA negeri dan 48 SLTA swasta.